septiayu

Paradoks Kehidupan



Menemukan tulisan lama, terkenang sebuah cerita masa lalu. Pelajaran berharga tentang sebuah paradoks kehidupan. Beda antara satu dan lain hal. Semoga kisah ini bermanfaat untukmu kawan. Agar kita lebih banyak mensyukuri kehidupan.

Tiap orang memiliki kisah yang tak sama. Berbeda antara orang satu dengan lainnya. Jika kita mau membuka mata, akan kita temukan mozaik hidup kita. Jika kita peka sedikit saja, maka akan kita temukan paradok hidup.

Paradoks kehidupan bagi seorang dhuafa, mungkin adalah sepotong kisah tentang hal-hal menyedihkan. Sepenggal cerita hal-hal memilukan. Semua hal yang bersifat sensitif dengan bumbu rasa frustasi, curiga, gundah, semua terhidang dalam mangkok kepedihan.

Kini bukan lagi saatnya untuk merutuki diri. Karena ada satu hal yang istimewa. Saya ingin membalik kalimat Salim A. Fillah. Keakraban itu tak lagi merapuh. Salam terasa menyenangkan, kebersamaan serasa keindahan. Pemberian bagai permata indah, kebaikan justeru menebarkan aroma sedap.

Ini bukan lagi sekedar kisah perjalanan yang dipenuhi tantangan. Bukan sebuah cerita canda-tawa. Bukan pula sebuah kisah suka cita. Mungkin teman-teman saya yang akan mengisahkan bagian ini. Di sini saya temukan paradoks hidup saya. Ia berkisah tentang kehidupan ekonomi. Kisah klasik yang mencekik bangsa ini.

Berkisah tentangnya adalah sebuah permasalahan sensitif, atau bahkan pertaruhan harga diri seseorang. Tapi kali ini bukan lagi masalah sensitivitas atau perkara lain yang tak menyenangkan untuk dikisahkan. Inilah fase yang tepat bagi kita untuk belajar memahami, “makna kehidupan sejati, kesenangan berbagi, dan merasa 'cukup' atas kehidupan yang sederhana.”-Tere Liye-

Kisah ini bukan sebuah cerita merendahkan. Bukan untuk mempertontonkan kemiskinan. Toh, memang kenyataannya seperti itu. Kami adalah para dhuafa, yang menamai diri kami “The Beyond Champion”. Ini adalah panggung kehidupan yang tersaji dala selembar kertas. Ya, panggung kehidupan kami. Dengan kami sebagai tokoh utama dalam pertujukan tersebut.


30 Desember 2012

Akhir tahun bagi saya adalah waktu yang tepat untuk melakukan perjalanan. Sebuah perjalanan akan mengantarkan kita pada hal-hal baru. Didalmanya akan kita jumpai berupa-rupa pengalaman. Ironi pada tiap peristiwa menantang kita untuk mengerti hakikat hidup sejati. Dengan begitu, esok saat matahari baru di awal tahun muncul, kita akan memiliki pemahaman baru. Pemahaman hidup yang jauh lebih baik, yang kita dapat dari sebuah perjalanan.

Angkot yang kami tumpangi merapat pada tepian jalan yang hampir menyatu dengan sebuah pekarangan rumah. Saat kaki ini pertama kali menginjak tanah becek sisa air hujan, pemandangan yang pertama kali saya lihat adalah sebuah paradok kehidupan.

Kita akan menyaksikan paradok ini dibanyak tempat. Sebab di negeri dengan jaminan sosial amblas ini, akan memudahkan kita menyaksikan pemandangan tak seimbang ini. Sebuah kasta memisahkan antara kaum Sudra dengan Brahmana. Kaum Sudra terpelecat jauh dari Brahmana. Si Sudra yang miskin hanya dapat menatap penuh pesona pada bangunan rumah si Brahmana. Sedangkan Brahmana tak acuh pada kediaman si Sudra. Tapi, bukankah negeri ini tak menganut sistem kasta?

“Ora perlu omah apik-apik Mbak, saban dina wes nyawang omah apik. Sing nduwe omah ora tau nyawang.” -artinya:”tidak perlu rumah bagus Mbak, setiap hari sudah melihat rumah bagus. Yang punya rumah justeru tidak pernah menikmatinya-. Ungkap seorang Bapak teman saya sambil menunjuk rumah tetangganya, yang berada persis di depan rumahnya. Berjarak seperlempar batu, dan hanya dipisahkan oleh jalan raya.

Saya terharu dengan perkataan Bapak teman saya itu. Bukan! Bukan terharu karena perbandingan rumah beliau dengan tetangganya, melainkan betapa lapangnya hati beliau. Bisa jadi beliau amat Zuhud dalam hidupnya. Bisa jadi, beliau amat bersyukur dalam menyikapi tiap petak hidupnya.

Saya belajar bahwa hidup ini bukan kemudian menjadikan kita membanding-bandingkan apa yang kita miiki dengan yang dimiliki orang lain. Kita akan menjadi seorang yang berbeda, saat kita punya prinsip yang kokoh. Saat rasa syukur senantia memenuhi relung hati kita, hingga pada bagian kecil dalam hati. Saat kita merasa 'cukup' atas pemberian terbaik dari Sang Pemilik Kehidupan.

Itu semua membuat saya malu. Malu pada diri ini yang amat rutin menggumamkan keluh. Senang memuntahkan rasa kesal. Menangisi tiap kekalahan. Mengorek serpihan kekacauan. Diri ini lalai. Lalai memanjatkan syukur. Lalai menatap keindahan. Lalai belajar atas tiap peristiwa yang Ia sajikan.

Perjalanan ini, membuat saya mengerti. “Benarlah. Jika sedang bersedih, salah satu obatnya adalah menyadari masih banyak orang lain yang lebih sedih dan mengalami kejadian lebih menyakitkan dibanding kita. Masih banyak orang lain yang tidak beruntung dibanding kita. Itu akan memberi pengertian bahwa hidup ini belum berakhir. Itu akan membuat kita selalu meyakini. Setiap satu makhluk berhak atas satu harapan.”-Tere Liye-

“Maka nikmat Robbmu yang manakah yang kamu dustakan?”
QS.55:55.
septi ayu azizah
Septi Ayu Azizah penyuka literasi, volunteer dan pendidikan. Penikmat jalan-jajan ini, lahir di Banjarnegara, ber-KTP Jakarta, tinggal di Depok. Menulis bagi Septi adalah mencurahkan asa agar bermanfaat tentunya. Aktivitas Septi sebagai guru, pegiat literasi sekolah, dan tentunya menjadi istri penuh waktu.

Related Posts

Posting Komentar