“Ra, inget nggak kejadian 11 tahun yang lalu? Sewaktu aku ninggalin kamu di Simpang Lima? Asli, kadang aku ketawa sendiri inget kejadian itu, padahal udah lama banget yah, Ra. Jadi kenangan masa kuliah yang nggak akan terlupakan, sih.”
Sebuah pesan tanpa salam sapa itu merangsek masuk ke aplikasi pesan berwarna hijau telepon genggamku. Saat membaca pesan dan nama kontak pengirimnya, hatiku bercicit, tumben nih bocah kirim pesan. Susah banget terhubung dengan bocah gaul ibu kota yang satu ini. Gayanya persis macam warga Jakarta yang selalu sibuk dengan kemacetan, pekerjaan, hingga desak-desakan.
Lihat saja story yang sahabatku bagikan di media sosial setiap berangkat dan pulang kerja itu. Bergaya dini hari di MRT, petang di KRL yang padat, atau sekedar berswafoto dengan sesama Anker (Anak Kereta) di sekitar stasiun yang mengerumuni pedagang kaki lima, antre membeli camilan pengganjal perut.
Sekali lagi aku baca sebaris pesannya, kejadian yang aku kira belum lama, ternyata sudah 11 tahun berlalu, waktu yang cukup panjang ya, mengingatnya membuat hatiku meringis. Masa-masa itu sudah jauh tertinggal di belakang, tapi benarlah masa-masa paling indah, masa-masa kuliah yang menyimpan banyak kenangan.
Jual Piscok di Car Free Day
“Pokoknya nanti kita jualan piscok yang banyak di CFD, keuntungannya kita tabung, buat bekal jalan-jalan ya! Tahun ini harus ke Belitong!” teriak Sasha antusias.
Aku dan Sasha berkenalan di akhir tahun 2012 pada acara Ospek kampus. Meski baru berkenalan, dalam hitungan hari kami langsung merasa cocok satu sama lain. Seperti dua karib yang telah terpisah lama, tiba-tiba dipertemukan.
Pada satu malam di awal tahun 2013, seperti kebanyakan orang-orang yang membuat resolusi tahunan, kami pun demikian. Merancang berbagai target bersama, salah satunya backpacker ke pulau impian kami, Belitong. Karena saat itu aku seperti kebanyakan mahasiswa +62 yang tak punya uang lebih untuk jalan-jalan, apalagi sampai ke luar pulau, Sasha memberikan solusi mujarab untuk mencari pemasukan dengan berjualan jajanan seperti pisang coklat (piscok) di Car Free Day (CFD) Simpang Lima, Semarang.
“Kenapa piscok, Sa? Emang ada yang mau beli? Mending jual minuman dingin gitu nggak sih?” gerutuku, menanggapi usulan Sasha.
“Udah banyak yang jualan minuman, Ra! Segala macam es ada semua, mulai dari air mineral dingin, es dawet, es cincau, es kopi, es buah, semuanya ada.”
Kami terus berdebat sepanjang malam, menentukan jualan apa yang paling laku di Simpang Lima. Kami ini sama-sama keras kepala, nyaris setiap hari hal apa pun kami perdebatkan, merasa paling benar atau lebih tepatnya sok tahu.
“Sekalian pas ngampus kita jualan piscok juga, ya! Tiap hari kita pesan 100 pcs bagi dua, ya!” itu semburan ide Sasha berikutnya.
“Tiap hari jual piscok? Apa nggak bosen tuh teman-teman kita?”
“Udah deh, kita coba dulu, terus besok jam lima pagi kita udah otw ke Simpang Lima, ya! Aku udah pesan piscok 100 pcs. Jangan telat kamu, Ra! bangun pagi-pagi ya! Haha.” Sasha menutup kalimatnya dengan tawa, sembari buru-buru menutup pintu kamarku. Lemparan bantalku ke arah pintu kalah cepat dengan gerakannya keluar kamar, dia terbirit-birit ke kamarnya sambil cekikikan.
“Enak aja aku telat bangun, selama ini kan dia sendiri yang paling susah dibangunkan. Pelor, nempel langsung molor, asal ketemu bantal aja udah macam orang pingsan!” Gerutuku sendiri, Sasha pasti sudah masuk ke kamarnya yang tepat di samping kamarku.
Sahabat yang Terlupakan
“Berrr, dingin juga yah pagi-pagi begini, kamu aja yang lanjutin bawa motor, Ra!” teriak Sasha sambil mengemudikan motor automatik putih kesayangannya.
“Kamu kan tahu sendiri, aku belum lancar bawa motor, Sa!” Jawabku sama kerasnya dengan teriakannya. Rasa-rasanya mengobrol di motor dengan telinga tertutup helm, ditambah segala suara bising jalanan membuat suara harus naik berapa oktaf.
“Ya udah deh, btw munduran dong, sempit nih!”
“Apa? Mundur? Kamu nggak lihat aku bawa piscok sebaskom gini? Udah mentok ini!”
“Aduh, jangan gerak-gerak dong!”
Haduh, Sasha ini memang mulutnya tak bisa berhenti mengeluh. Rasa-rasanya ingin kulakban saja itu bibirnya yang cerewet biar tak protes terus sepanjang jalan. Semenara itu, motor terus melaju dari indekos kami di Tembalang menuju Simpang Lima.
Simpang Lima sebagai pusat kota Semarang, setiap Minggu pagi selalu dipadati warga. Orang-orang seperti tumpah memadati area Simpang Lima. Ada yang sekedar jalan-jalan, berjualan, olahraga, demo masak, aksi galang dana, perkumpulan komunitas reptil, dan beragam kegiatan komunitas lain yang memadati Simpang Lima pada Car Free Day.
Motor Sasha melaju pelan di jalan Semarang-Surakarta. Tepat di persimpangan ia membelokkan kemudi ke jalan Pandanaran, sontak aku terkejut.
“Heh! Ngapain belok, Kanjeng Ayu! Itu lurus aja kan Simpang Lima! Kita parkir dekat sana saja, biar nggak kejauhan!”
“Eh, salah ya?” Jawab Sasha cengengesan, dan seperti wanita pada umumnya, bukannya menepi untuk berhenti, ia malah berhenti tepat di tengah jalan. Beruntung jalanan masih sepi, kalau tidak, sudah bisa ditebak apa yang akan terjadi berikutnya, habislah kita dimaki-maki pengguna jalan lain.
“Sek, sek, aku nggak iso mundur iki, nggak iso muter, berat. Kamu turun dulu Ra!” (Sebentar, aku nggak bisa mundur ini, nggak bisa putar juga, berat. Kamu turun dulu, Ra!)
Kebiasaan Sasha saat panik, ia menggunakan bahasa Jawa dengan logat yang aneh. Aku mengalah, turun dari motor, menepi sambil membawa wadah besar yang penuh dengan piscok.
Dari tepi jalan aku amati keanehan lain yang dilakukan Sasha. Gerak-geriknya mencurigakan, bukannya menepi lalu putar arah, ia melaju lurus ke depan, kemudian memutar motornya, tiba dipersimpangan ia lantas belok ke kiri dan terus lurus.
“Sashaaa! Woiii, cah ra nggenah! Wah, pancen cah ra nggenah!” (Sashaaa! Woii, orang nggak jelas! Wah, benar-benar orang nggak jelas!) Teriakku kencang sekali, demi melihat Sasha terus melaju dengan motornya, meninggalkanku sendirian menenteng 100 pcs piscok dalam wadah besar, kacau dan menyebalkan.
“Walah, ditinggal kancane yo, Mbak? Hahaha.” (Waduh, ditinggal temannya ya, Mbak?) sembari tertawa, seorang juru parkir menghampiriku.
“Nggih Pak, niku rencange kulo pancen mboten nggenah Pak, mpun pedot.” (Iya Pak, itu teman saya memang nggak jelas Pak, “eror”.)
“Haha, sing sabar yo, Mbak. Paling yo muter balik.” (Haha, yang sabar ya, Mbak. Paling nanti putar balik.)
“Nggih, Pak.” (Iya, Pak.) Jawabku sambil tersenyum kecut.
Sepagi ini disambut dengan tingkah konyol sahabatku, rasanya jengkel sekali. Aku duduk di bahu jalan sambil memangku piscok dan helm yang masih menempel di kepala. Sekitar sepuluh menit yang bagiku terasa sepuluh jam, Sasha muncul di sebrang jalan sambil cengengesan, motor automatik putih kebanggaannya berhenti tepat di depanku.
“Pancen ngisin-ngisini koe, nggak jelas sisan wes!” (Dasar malu-maluin kamu, nggak jelas banget!) Rasa-rasanya aku ingin memuntahkan segala serapah kepadanya.
“Hehe, aku kira kamu udah naik loh! Aku panik pas sampai parkiran, khawatir kamu jatuh, Ra! Lah ternyata masih ketinggalan di sini, wkwkwk, sepurane yo, Ra.” Sanggah Sasha dengan terus tertawa memamerkan gigi.
“Walah Mbak, koncone ojo ditinggal meneh yo, Mbak. Mesakke!” (Waduh Mbak, temannya jangan ditinggal lagi ya, Mbak. Kasihan!) teriak Juru Parkir dari tempat duduknya, tak jauh dari tempat kami berdiri.
“Nggih Pak, nanti saya ikat Pak, biar nggak ketinggalan lagi. Monggo Pak, hehe.” Jawab Sasha masih cekikikan. Aku timpuk kepalanya yang berbalut helm demi mendengar jawabannya.
Sepanjang hari, Sasha cekikikan mengingat kejadian itu. Bahkan dengan bangga ia ceritakan kepada semua teman-teman yang kami temui. Tak terhitung berapa kali ia ceritakan hal itu sepanjang tahun, berkali-kali sambil memegangi perut saking lelahnya tertawa.
Kejadian itu memang lucu, tetapi jadi pelajaran buatku. Berpergian dengan Sasha, gadis Lampung yang teledor dan hobi cekikikan itu membuatku harus selalu waspada. Sebab, dia terbiasa meninggalkan hal-hal yang mengganggu dalam hidupnya, waduh.
Pada akhirnya, satu tahun pertama kuliah kami rajin berjualan picok, tetapi juga tetap gagal ke Belitong. Sebab, keuntungan dari berjualan piscok selalu habis untuk kebutuhan selama kuliah. Belum lagi, setelah aku ingat-ingat, dalam sehari Sasha menghabiskan banyak sekali piscok untuk dia makan sendiri.
Berikutnya baru kutahu kenapa dia ngotot mau jualan piscok, ternyata dia suka sekali dengan pisang dan segala olahan pisang, tiada hari tanpa menyantap segala jenis olahan pisang. Esok lusa mungkin dia akan membuat perserikatan pencinta pisang.
Artikel ini adalah bagian dari latihan komunitas LFI supported by BRI
Alasan jualan piscok malah biar bisa makan setiap hari ya mba hehehe
BalasHapusSeru banget bisa jualan bareng sahabat walaupun akhirnya gak bisa ke Belitong. Semoga kapan-kapan bisa liburan bareng ke Belitong ya mba.
Iyaa, haha. Jadi puas tiap hari makan piscok. Aamiin, yuk bareng-bareng kita ke Belitong Mbak :)
HapusKreatif nih idenya, jualan piscok karena hobi makan olahan pisang. Sekali dayung dua tiga pulau terlampaui nih. Paling ga walaupun ga jadi ke Butong, sudah puas makan piscok wkwkwk
BalasHapusHihi, minimal puas makan piscok yah Mbak. Perkara ke Belitong bisa kapan-kapan lagi, hiks :)
HapusKenangan masa kuliah memang paling seru.. kalau kataku ya mbak, masa yang paling bisa kita ngelakukan apapun itu ya waktu menjadi mahasiswa...hehehe.... bisa banget melakukan banyak hal...
BalasHapusBetul banget, mencoba banyak hal tanpa mengkhawatirkan hal lain. Kalau sekarang mau nglakuin apa aja kebanyakan mikir. wkwkwk
HapusWaktu kuliah aku jualan piscok karena keperluan danus acara. Cuma hebat banget jualan piscok karena suka olahan pisang, jadi kalau ga habis dagangannya jadi aman dimakan sendiri tanpa bosen 🤣
BalasHapusBerawal dari danusan buat kegiatan, berakhir keterusan, hihi. Lumayan juga hasil jualannya :)
HapusMeskipun sudah berlalu belasan tahun, kenangan tentang sahabat, abadi di sanubari. By the way, jualan makanan yang kita suka itu aman banget. Kalau belum laku, jadi bisa kita makan sendiri. He-he.
BalasHapusIyaa, jadi pengen jualan makanan ih, hihi :)
HapusSenangnya kuliah punya bestie yang satu frekuensi, sampai bisa jualan bareng dan punya kenangan di tinggal motor segala.. wkwkwk
BalasHapusSetelah bertahun-tahun cerita receh seperti iitu jadi bahan untuk mengenang perjalanan kita bersama sahabat dan insyaAllah jadi pengalaman berharga, ya
Betul Pak Yo, banyak kenangan kocaknya, haha.
HapusKenangan kuliah itu selalu dibicarakan setiap bertemu..rasanya tak bosan dan selalu mengundang tawa meskipun sudah lama berlalu..Alhamdulillah punya sesuatu yang dikenang
BalasHapusAlhamdulillah, cerita yang bisa dibagikan, semoga terhibuur :)
HapusKenangan masa kuliah tuh punya tempat tersendiri. Bermakna banget! Saya yang baru lulus tahun kemarin aja udah sekangen ini mbak, gimana besok kalo udah 11 tahun kayak mbak Septi, ya, wkwk. Pasti kuuangen banget!
BalasHapus