septiayu

One Step Closer-Serial Nikah #8

Heart beats fast 
Colors and prommises 
How to be brave 
How can I love, when i’m afraid to fall 
But watching you stand alone 
All of My doubt, suddenly goes away somehow 
One step closer.. 

One Step Closer, mungkin, iya mungkin, pas banget lagunya Mbak Christina Perri ini mengejawantahkan segala perasaanku kala akad di depan mata. Degub jantung yang lebih kencang dari biasanya, keberanian yang luruh entah apa sebabnya, pertanyaan-pertanyaan bagaimana aku bisa mencintainya? Pertanyaan yang jauuuh lebih banyak dari pada jawaban. Ketakutan yang kerap kali mengintai. Hanya oh hanya, hanya karena sebuah alasan yang membuatku bertahan. 

One Step Closer. 
Malam sebelum akad, mataku tak bisa terpejam. Sahabat rasa keluarga yang membantu menyiapkan segala ini-itu, pernak-pernik akad, menenangkan sambil mengejekku. Ah, jangankan mereka, hatiku sendiri mengejek diri ini yang tak kunjung “terlihat” siap. Entah di detik ke berapa pada dinginnya waktu yang lebih dingin dari udara di rumah orang tuaku, akhirnya aku terlelap untuk kemudian bangun kembali di sepertiga malam terakhir. Tak ada mimpi indah yang mewarnai malam terakhir si jomblowati ini, yang ada hanya tidur ayam-ayam yang tak perlu menunggu ayam berkokok untuk bangun kembali. 

Mengadu, hanya mengadu yang bisa dilakukan hari itu, hari di mana akad mendekat. Mengadu kepada Robb Pemilik Hati, mengadukan hati yang tak kunjung tenang dan tegap. Sejak tanggal 16 Februari, terhitung empat bulan lamanya hati ini begitu gelisah. Hanya kekuatan dari Robb Yang Maha Kuat yang mampu membuat diri ini berdiri tegak. Dan bila, aku berdiri tegak, hingga hari ini, bukan karena kuat dan hebatku. Semua karena Allah. *nyanyi. 


Pagi itu, mendung menggantung. Seingatku, sejak aku pulang ke kampung halaman, tiga hari jelang Lebaran, atau delapan hari di rumah orang tuaku, hujan tak kunjung turun. Dan hari ini mendung begitu kelabu membungkus tiap resah yang entah apalagi rasanya. Menambah muram dan gelisah, duuuh, kalau hujan gimana iniii, konsep garden party bisa gagal total (gayanya garden party padahal memang begitu kursi di susun di teras rumah yang separuhnya teras adalah kebun salak). Gagap aku menyambut dia yang datang bersama keluarganya. Rasanya mau semaput (pingsan) saat ia berdiri di depanku yang untungnya tak menyapaku, berlalu begitu saja, sedang keluarganya beramah-tamah dengan keluargaku.
 
I will be brave 
I will not let anything take away 
What’s standing in front of me 
Every breath 
Every hour has come to this 

Detik-detik menjelang akad, titik hujan satu per satu luruh ke bumi. Sahabat-sahabat dekatku, Ibuku, menggenggam jemariku begitu erat saat Bapak menyerukan ijab yang dijawab qabul olehnya. Aku seperti linglung. Tak ada tangis haru, justeru sahabat-sahabat dekatku yang menangis, ah dasar aku selalu kesulitan menangis di depan umum. Lepas doa di waktu mustajab pasca akad dilesatkan, aku digiring menemui dia, OMG!!! ini beneran aku udah nikah? masih juga linglung. Bergetar duduk di sampingnya, menandatangani segala surat, bergetar hendak menolak saat ia memasangkan cincin di jari manis ini, risih saat tangannya menyentuh dahi membacakan doa, dingin menggenggam telapak tangannya saat bersalaman. Daaan, yaaa, aku baru sadar, ternyata bukan hanya aku yang groginya tak ada ampun, ada juga si dia yang pasti juga menyimpan berlipat-lipat resah, dan itu dibuktikan dengan tangannya yang begitu dingin. 

Ah hujan, hujan tepat di bulan Juni, 22 Juni lebih tepatnya. Hujan pertama setelah sekian waktu kampungku telah lupa oleh bau tanah diguyur hujan. Berharap tiap titik yang luruh membasahi hati-hati ini dengan keberkahan. Hari itu, ada begitu banyak waktu mustajab untuk melesatkan doa. Jumat harinya, hujan lattarnya, akad nikah momentnya. Semoga menjadi keberkahan untuk siapa pun yang hadir kala itu. 

Hari ini, lewat sudah satu tahun usia pernikahan kami. Masih juga kami menertawakan hal-hal lucu lepas akad. Tak ada gandeng-menggandeng tangan pada foto-foto pernikahan kami. Tak ada cium tangan, karena tangan hanya tertempel di kening. Tak ada senyum manis, saling tatap, tawa, oh tidaaak! Aku sibuk menunduk, ia entah sibuk dengan apa rasanya. Lima hari di rumah orang tuaku, tak ada adegan suap-menyuap, jangankan saling suap, aku pun masih tak berani mengambilkan nasi ke piringnya. Hanya sekedar ajakan makan yang mungkin terasa hambar. 

Hari-hari awal nikah yang kata orang terasa “manis”, justeru entah apa rasanya bagi kami, terutama aku. Aku yang tak kunjung bisa bermanis diri melayani seorang ikhwan yang selama 24 jam berkeliaran di sekitarku. Sepekan di rumah tanpa perkembangan baik. Kami merantau ke Surabaya. Itulah kali pertama kami pergi bersama dalam sebuah perjalanan panjang, naik bus butut yang mogok di tengah jalan dari kotaku ke Semarang. Bersilaturahim ke Ustadz/ah kami yang membantu proses ta’aruf di Semarang. Lantas melanjutkan perjalanan ke Surabaya dengan kereta yang tempat duduk kami dikelilingi anak-anak kecil-ajaib! 

Setibanya di Surabaya, masih tak ada adegan bergandeng tangan, atau sekedar berpegangan saat membonceng di motor. Tepat hari ke delapan, saat dia mengajakku ke kampusnya, ITS, tercipta suatu keajaiban, ia menggenggam tanganku, awalnya aku kaget, gugup dan malu. Tapi energinya seolah menjalar lewat jemari ini yang ia genggam. Teringat olehku kata-kata yang dulu sering ku ucap. 

"Kau tahu, kenapa jari jemarimu dipisah oleh sela-sela kosong? Agar kelak, akan ada yang menggenggam jemarimu sambil berbisik, “Aku mencintaimu karena Allah.” 

Aku selalu menjadikan kalimat itu sebagai motivasi agar terus menjaga ukhuwah kepada sahabat. Tapi hari ini, ada arti lain yang terasa lebih kuat. Ada makna yang berbeda, ukhuwah yang benar-benar akan menjalar pada kedamaian abadi. Dan seketika itu kesadaranku membuncah. Engkau, ya engkau adalah jawaban atas setiap doa yang dilesatkan sepanjang waktu itu. Tak berlebihan bukan jika ku menyebut,

Kau dan Aku adalah tanya dan jawaban. 
Jika Aku sebuah tanya, bukankah kau jawabnya? 
Seperti hujan menjawab mendung. 
Seperti jumpa menjawab rindu. 

Ya, masih begitu panjang perjalanan ini, begitu banyak kisah dengan segala bumbu-bumbunya. Semoga, semoga, dan semoga, terlalu banyak semoga yang kau dan aku lesatkan. Semoga pada tiap semoga bersatu menjadi kita.
“Dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan, supaya kamu mengingat kebesaran Allah.” (QS. Az Dzariyat: 49)
***Gaaaaiiis, sudah serial ke 8 sajoo iniii, aim so sworiii, lompat yang ke 6 dan 7 belum posting. Hihi... esok lusa insyaAllah yes.
septi ayu azizah
Septi Ayu Azizah penyuka literasi, volunteer dan pendidikan. Penikmat jalan-jajan ini, lahir di Banjarnegara, ber-KTP Jakarta, tinggal di Depok. Menulis bagi Septi adalah mencurahkan asa agar bermanfaat tentunya. Aktivitas Septi sebagai guru, pegiat literasi sekolah, dan tentunya menjadi istri penuh waktu.

Related Posts

Posting Komentar