septiayu

Peretas Batas


Semua kisah ini tentang ejaan yang pernah diucap pada sepetak ruang kosong penuh harap yang tertutup rapat tirai-tirai keluguan. Teringat jelas potongan gambar masa-masa awal di Asrama Beastudi Etos penuh semangat. Meneriakkan semua mimpi pada ruang bertirai itu, aku dan mimpi ku akan mengurai tabir yang membatasi semua imaji. Penuh gairah memaknai setiap detik hidup dengan melesatkan harap pada secangkir rasa yang aku teguk. Hari itu hari di mana aku melihat berupa pelangi menghiasi tempat-tempat yang aku injak.

Berpeluh suka menyelami dahsyatnya karakter mimpi pada ruang persegi penuh rak motivasi di perpustakaan kecil Asrama. Kalimat-kalimat mimpi kami teriakkan membanjiri sudut ruang asrama yang redup, bersama sahabat aku merasa lekat dengan setiap asa tanpa basa. Lantas tanpa peduli nasib apa yang akan membawa kami, kami tetap bertahan pada keyakinan atas setiap harap yang dihembuskan oleh mimpi.

Tak disangka, perjalanan menuju mimpi tak semanis yang dikira. Berpeluh luka melawati labirin kehidupan yang penuh liku. Mengais dipojokan semangat yang mulai retak. Detik demi detik berlalu, matahari menyapa bulan, bulan digantikan awan, awan bergelung hujan, satu masa berirama menikmati satu per satu huruf yang dapat dieja. Cepat-cepat aku menyimpulkan, tak ada lagi kesulitan, tak ada lagi tantangan berat. Pikirku sesudah kesulitan ada kemudahan. Aku pikir, kemudahan-kemudahan itu akan bertahta dan berkuasa, mendampingi hari-hari yang mampu buat aku tersenyum.

Sekali lagi aku terlalu cepat menyimpulkan. Belum sempat aku tarik benang merah hidup, tantangan demi tantangan bergerumul menyerang dari segala penjuru. Segala hujatan melesat bagai anak panah, tuntutan jauh lebih banyak berkelekar mengelilingi rapuhnya pertahanan. Ia bercerita tentang persaingan asah otak, pertempuran dunia kerja, dan sesaknya tanggung jawab. Mereka berdesak-desakan dalam ringkihnya fisik.

Agaknya, terlampau panjang aku memulai kisah ini. Singkat kata, pendek pikirku dahulu membayangkan usai diterima di salah satu Perguruan Tinggi terbaik di negeri ini dengan beasiswa penuh Beastudi Etos, semua kemudahaan akan memihakku tanpa ada lagi perjuangan. Tanpa perjuangan? Pikir yang keliru, bukankah hidup untuk berjuang? Perjuangan itu justeru baru dimulai.


Seringkali kita mengenang hari-hari spesial dalam hidup kita, bagiku hari pertama tiba di asrama Etos Semarang merupakan hari spesial. Aku masih mengingat, betapa aku datang dengan bekal super minim, tas seadanya dengan beberapa potong baju yang kata orang saat dikenakan terlihat ndeso, dan beberapa lembar rupiah yang dikantongi, hasil dari kerjaku sebelum menginjakan kaki di Semarang, berharap lembaran yang tak seberapa di sakuku akan terus berlipat beriiring dengan uang beasiswa yang mengalir ke rekening setiap tanggal sepuluh.

Kenyataan yang menyapa acapkali menghianati harapan yang membumbung tinggi. Betul sekali pepatah itu berbisik, “besar pasak daripada tiang”. Kebutuhan akan penghidupan yang jauh lebih baik, seringkali memaksa keterbatasan untuk menyingkir, lantas digantikan dengan kecukupan. Kecukupan untuk mandiri menjadi tolak ukur bagi kami agar mampu meretas keterbatasan. Beragam cara dilakukan oleh si pemilik keterbatasan, agar semua yang serba terbatas menjadi tak terbatas. Aku pun demikian kawan, terus berkejaran meretas keterbatasan.

Penikmat euforia kebebasan, merayakan lepasnya masa SMA yang penuh aturan dengan pesta suka ria pada panggung bernama Universitas. Hanya saja, tidak semua memilih menampilkan aksi yang sama meski pada panggung yang tak berbeda. Bagi si pemilik keterbatasan, memilih menikmati panggung dengan cara yang berbeda menjadi keharusan demi retasnya keterbatasan. Di awal kuliah aku menuliskan setiap mimpi pada dinding ruang yang membeku. Aku mengajak mereka berbicara, memantapkan mereka bahwa mimpiku layak untuk ditempel pada tubuh mereka yang mulai layu.

Mimpi-mimpi itu menjadi pemantik semangat di pagi yang baru, karena ku tahu mereka hanya mimpi yang bisu maka dengan kerja kerja kerja yang beriring doa aku melangkah menggapai mimpiku. Berkejaran dengan waktu aku menghabisi setiap detiknya untuk meretas. Aku berkejaran melakukan sedapat yang aku mampui. 24 Jam bukan waktu yang singkat untuk berbenah, bukan pula waktu yang panjang untuk bersendawa.

 

Berkutat dengan 24 jam yang dimiliki, aku habiskan untuk menyelami manisnya menimba ilmu dengan bertahan mengabadikan yang terbaik pada tiap pertemuan di kelas. Menikmati ranumnya interaksi lewat organisasi-organisasi kampus maupun ekstra kampus, hingga komunitas. Tanpa batas menghirup rupa-rupa manfaat lewat pengabdian pada Beastudi Etos lewat kegiatan-kegiatan sosial seperti Expo Beasiswa, Sekolah Desa Produktif Rowoasari, dan terus menempa diri lewat pembinaan rutin harian dan pekanan. Semua dinikmati tanpa penat yang berarti.

Hidup terasa lebih hidup saat mampu menebar manfaat, dan terus bergerak. Dua semester pertama dilalui dengan penuh semangat membangun karakter. Mencari jati diri yang paling hakiki. Menempatkan diri pada organisasi kampus, dan mengembangkan komunitas menulis kala itu. Tak luput juga memutar otak agar mampu menghasilkan pemasukan untuk memenuhi kebutuhan hidup dengan segala target yang diinginkan tanpa mengharapkan sepeser pun rupiah dari keluarga di rumah.

Terkenang, betapa di masa-masa awal kuliah, leptop menjadi barang mewah yang paling diingini. Berbulan-bulan memaksa diri untuk mengunyah nasi dengan lauk krupuk dan sambal demi meminamalisir pengeluaran. Berjualan makanan semacam tahu bakso dan pisang cokelat, yang dahulu bersama kakak tingkat yang juga sama-sama penerima manfaat Beastudi Etos rela bangun lebih awal untuk menyiapkan makanan yang akan dijual. Menggulung pisang, menggorengnya, hingga menjualnya di kampus. Percaya atau tidak hasil dari berjualan pisang cokelat dan tahu bakso mampu membayar lunas sebuah leptop baru yang kini menjadi separuh hidupku.

OASE Indonesia Madani

Imaji berbincang lewat kata yang tersusun melalui tus-tus tombol leptop. Aku selalu bermimpi tiap rangkaian kata yang berirama turut serta mengantarkanku meretas. Lewat kata, semester tiga aku memiliki pekerjaan tetap sebagai publik relation dan co.instruktur di sebuah lembaga training dan psikologi terapan. Tahun berikutnya, aku mencoba mengasah kemampuan dalam berjulan dengan membuka toko online yang menjual perlengkapan muslimah dengan namaku sendiri Azizah Corner. Malamnya, lebih lengkap lagi dihabiskan dengan mengajar privat siswa usia SMP. Dengan gaji tetap sebagai PR, laba dari Azizah Corner, serta pendapatan dari mengajar privat, aku mampu hidup mandiri, memenuhi kebutuhanku di rantau termasuk biaya kuliah, bahkan membiayai sebagian perjalananku saat konferensi Internasional di Istanbul tahun 2014 silam.

Menikmati hidup dengan cara yang dimampui rasa dalam merasa, menjadikan hidup terasa sampai ke sarinya. Hari ini, aku tengah menikmati masa-masa akhir di bangku kuliah. Terkenang setiap masa yang dilewati, betapa hidup adalah perjuangan. Telah ku rasai mengunyah berlembar-lembar materi di bangku kelas hingga mengantarkanku menjadi Mahasiswa Berprestasi Jurusan Sastra Indonesia. Telah aku kibas segala peluh pada rumitnya dunia kerja hingga mengantarkanku pada tempat-tempat yang ingin ku singgahi meski belum seperempatnya tercapai. Telah aku raup segala rasa organisasi dan kepanitiaan, mulai dari yang terendah hingga hari ini menjadi “penasihat”.

Kuasa-Nya kembali menjamu sahabat-sahabat keterbatasan. Ia meluruskan persepsi yang keliru. Bukan sesudah kesulitan ada kemudahan, melainkan bersama kesulitan ada kemudahan. Karena kesulitan-kesulitan akan terus membersamai, hanya saja tak kan melampaui batas sukar. Kuasa Nya saat memperkenalkan kesulitan Ia juga menyapa kemudahan untuk disandingkan.


Kepada sertifikat-sertifikat kegagalan yang menumpuk lebih banyak, ia menjadi semacam lecutan untuk terus berjuang. Karena saat ini, apa yang pernah dirasai, ini belum apa-apa. Suatu hari nanti kita akan dipertemukan pada ruang lebih rumit dibanding hari ini. Dengan berbekal sertifikat kegagalan, seyogyanya kita mampu melewati bagian itu tanpa rusuh, pada titik ini kita telah meretas, meretas pada setiap keterbatasan yang dihadapi.

Maka, pada sahabatku bernama mimpi, aku akan mengeja engkau tanpa henti. Hingga lidahku kelu, dan saat itu terjadi ku pastikan kau sempurna terangkai pada kata, tanpa perlu lagi ku eja. Peretas keterbatasan tidak akan berhenti pada masa lalu, karena kisah hidup sang peretas dimulai saat ia berani mengatakan apa mimpinya, apa yang diingini di depannya. Dan sungguh Sang Penguasa Mimpi telah baik untuk menjadikannya indah. Hari ini adalah tentang masa lalu yang telah meretas, esok bagi sang peretas adalah penciptaan atas proses yang tengah berjalan. Karena hasil tidak akan menghianati proses, maka sang peretas keterbatasan akan terus berjalan bersama dengan keyakinan dan mimpi yang Ia jadikan indah. Sekali lagi, sungguh Sang Penguasa Mimpi telah baik untuk menjadikannya indah.
septi ayu azizah
Septi Ayu Azizah penyuka literasi, volunteer dan pendidikan. Penikmat jalan-jajan ini, lahir di Banjarnegara, ber-KTP Jakarta, tinggal di Depok. Menulis bagi Septi adalah mencurahkan asa agar bermanfaat tentunya. Aktivitas Septi sebagai guru, pegiat literasi sekolah, dan tentunya menjadi istri penuh waktu.

Related Posts

Posting Komentar