septiayu

Mahar 50 Juta-Serial Nikah #2

“Tersiarkan kisah lelaki, tangguh bagai satria. Namun saat ia tertatih, takluk oleh dunia. Siapa yang jadi sandarannya. Bisakah kau hidup tanpa teduhnya wanita, yang di setiap sujudnya terbisik namamu. Dia cerminan sisi terbaikmu, lindungi hatinya, sekalipun di dalam amarah.” 
Eaaak, itu mah lagu coy... Lagunya mbak Raisa, itu loh yang jadi soundtrack film Ayat-Ayat Cinta 2. Betewe, kalau ada orang macam Fahri, bungkus satu dong. Wakakak. Asal siap aja dimadu berapa kali. Uweeee.... #Skip. 

Ngomongin soal tangguhnya lelaki, aseli ku kan menaruh hormat pada mereka-mereka yang punya keberanian, kekuatan, ketangguhan untuk memilih seorang wanita yang “spesial”. Aaah.. jadi mengenang lagi kisah para sahabat tangguh, meretas sudah air mata ini. Sesak lagi dibuatnya. 
Ada tiga orang sahabat yang luar biasa dalam hidupnya. Aku menyebut mereka “Wanita Tangguh”. Mereka tidak terkenal macam teman-teman yang bolak-balik ke luar negeri, macam teman-teman yang Mawapres, atau macam teman-teman yang udah hits dari lahir. Tapi perjalanan hidup mereka jauh lebih layak dikisahkan untuk kita ambil pelajaran. 

Pertama, tentang seorang Ukhty di pelosok negeri. Perjuangannnya untuk berkebaikan 
telah nampak sejak perjumpaan pertama di kampus tercinta. Menjadi teladan terbaik lewat syiar dan semangat yang tak pernah padam. Bertahun-tahun setelah ia kembali ke kampung halaman di pulau sebrang, aku bertanya, “Mbak kapan nikah?” Ia pun mulai membuka cerita dengan, “Mbak, pernah mau menikah Ncep.” 

50 Juta, begitulah ucapnya menyebut angka. Mahar yang harus dibayarkan oleh seorang lelaki yang ingin meminang gadis di kampung halamannya. Angka yang bukan main-main bagi seorang yang belum mempersiapkan diri dan materi dengan baik. Tapi, semua orang pun tahu, itu menjadi adat yang tak bisa ditawar. Semua sudah sama-sama paham. Lagi pula, uang itu bukan untuk dinikmati keluarga mempelai putri, melainkan untuk walimatul ‘ursy yang memang di pulau itu semua harga melangit, alias mahal bingit. 

Dikisahkan, seoarang pria, berani datang mempersunting si wanita tangguh ini. Telah berproses sedemikian rupa sesuai syariat, hingga khitbah. Si wanita tangguh sejak awal sudah mengatakan, “50 juta, jika tak mampu jangan dipaksakan.” Namun tak diindahkan oleh si pria. Ia begitu mantap. Hingga tanggal pernikahan telah ditetapkan. Kedua keluaga telah bertemu. Warga sekampung telah tahu. Namun, seminggu berselang setelah khitbah, pernikahan batal. Batal begitu saja dengan si pria mengatakan, “Tinggi betul mahar menikah.” 


Betul kalimat itu, sebaik-baik wanita adalah yang mudah maharnya. Tapi kita tidak bisa memungkiri, betapa jeratan tradisi belum sepenuhnya bisa kita hindari. Apa yang bisa kita perbuat jika itu menjadi syarat ridhonya orang tua atas pernikahan? Ya, mungkin benar kita belum baik dalam memahamkan orang tua, tapi sebagai pria seharusnya ia punya prinsip. Mampu memutuskan, berarti mampu bertanggung jawab. Bukan malah mengoceh sana-sini bilang mahar yang tinggi, lantas membuat wanita jatuh sakit. Ya, si wanita tangguh ini jatuh sakit, berbulan-bulan ia obati rasa sakit yang bukan hanya menyerang hati, tapi juga fisik. 

Bukan wanita tangguh kalau ia tak bisa berdiri lagi, beraktivitas lagi, dan menatap masa depan dengan penuh percaya diri. Meski akhirnya, tetap saja ada begitu banyak pihak yang disakiti, ada begitu banyak kecewa dan tak lagi percaya dengan proses syar’i. Ditambah lagi, keluarga wanita yang kecewa hingga sempat tak izinkan ia menegakkan syariat di muka bumi. Sungguh besar dampak negatif dari ketidakmantapan hati. 

Aku katakan pada wanita tangguh ini, “Kelak akan hadir pria terbaik yang Allah datangkan untukmu mbak. Seseorang yang sama tangguhnya dengan mu. Dan ia adalah seorang yang siap menerimamu dan keluargamu.” 

Kedua, kisah seorang wanita tangguh yang memiliki ujian di masa lalunya. Ia wanita tangguh yang mandiri, cantik, pekerja keras, pintar dan shalihat. Allah uji ia, ia pernah mendapatkan perlakuan ‘kurang baik’ dari rekan kerjanya. Kejadian itu membuatnya sakit. Begitulah wanita, terlihat tangguh di luar tapi tetap saja ketika banyak beban yang terpikirkan, sakit menjadi tebusan. Hanya saja, si wanita tangguh ini selalu yakin bahwa setiap rasa sakit datangnya dari Allah. Allah pula yang memiliki kuasa menyembuhkan. 

Sekian masa terlewat sejak kejadian yang kurang menyenangkan. Datang seorang pria yang ingin meminang. Mulanya di masa-masa perkenalan awal lancar jaya tanpa hambatan. Pria mana yang tak mau, seorang wanita tangguh, cantik, mandiri, shalihat. Pada suatu kali pertemuan si wanita tangguh bercerita tentang penyakitnya, dan masa lalunya. Dan si pria mundur teratur. 

Aku katakan pada si wanita tangguh ini, “Guruku pernah bercerita masa-masa ia berkenalan dengan istrinya dulu. Istrinya, mengidap sakit yang mirip-mirip dengan mbak. Tapi guruku berkata, ‘tidak ada manusia di dunia ini yang inginkan sakit, karena ia datangnya dari Allah, maka Allah akan sembuhkan’. So Sweeeet kali lah. Hehe. Kataku lagi, “Biarlah, nanti akan ada pria tangguh yang tangguhnya seperti mbak. Ia datang dengan penerimaan. Yang akan menerima mbak dan semua masa lalu mbak. Dan dia pasti keren sekali.” Dan bukan wanita tangguh jika ia tak berdiri tegak lagi, hari ini ia terus bergerak menebar manfaat di muka bumi dengan mengabdikan diri sebagai Caleg DPRD di Pilkada 2019 nanti. 
Ketiga, ini cerita terakhir. Haru sungguh menyeruak saat ku terima undangan dari wanita tangguh satu ini. Sempat ku bertanya, “Gimana ceritanya mbak?” si wanita tangguh ini menjawab, “Singkat banget prosesnya Sep.” 

Masih teringat dua tahun lalu, saat aku menangisi si wanita tangguh ini. Aku menangisi penyakitnya yang kompleks. Si wanita tangguh ini bercerita seperti biasa dengan gayanya yang tenang tentang sakitnya yang ternyata bukan penyakit ringan. Tentang kemungkinan jika ia hamil atau melahirkan berpotensi salah satunya meninggal dunia. Tentang sakit yang bisa saja diturunkan kepada keturunannya. Ia tetap tangguh, sangat tangguh kalaulah boleh ku bilang. Aku selalu berbisik dalam hati, “Tangguh sekali pria yang nanti menerima mbak.” Doa terbaik untukmu mbak, semoga Allah berkahi pernikahan mbak nanti, Allah mudahkan segala urusan mbak, Allah angkat sakit mbak. 

Ya ampuun... mewek lagi niih... gimana coba sob nggak terharu, seorang yang sakit, tiap hari musti minum obat, tiap bulan jumpa dokter. Keren banget ini pria yang menerimanya. Sekeren si wanita tangguh ini yang tak pernah sekali pun ku dengar keluhan atas sakitnya. 


Sudah mulai baper? Aiiih.. bandingkan dengan kita coba sob. Layakkah kita berharap disandingkan dengan pasangan yang ajib luar dalem kalau kitanya aja biasa-biasa saja? Terlalu biasa dalam merangkai syukur, terlalu biasa dalam menegakkan syariat, bahkan terlalu biasa dalam merangkai harap (dalam berdoa). Layakkah kita menyusun syarat macam-macam? Mungkin kita terlalu banyak baca novel, hingga berharap bisa seberuntung Mumtaz Mahal yang dibangunkan Taj Mahal sebagai tanda cinta Shah Jahan. Atau berharap seperti Roro Jonggrang yang dibuatkan seribu candi sebagai syarat cintanya. Atau seperti Ainun yang dibuatkan pesawat oleh Habibie sebagai tanda setia. Kita? Jangankan itu semua, layakkah kita menerima pengorbanan? 

Ah, layak atau tak layak tentu keduanya harus saling berkorban bukan? Ini menurutku yang belum berpengalaman, hehe. Jangan enggan berkorban untuk kebaikan, apalagi untuk mengikuti sunnah Rasul. Bukankah Allah selalu melihat setiap perjuangan dengan segala hal yang dikorbankan? Dan yang terpenting bukan hanya soal seberapa besar pengorbanannya, melainkan seberapa besar penerimaannya. Bagaimana satu sama lain menerima ia sebagai pribadi yang sekarang dengan segala cerita di masa lalu dan masa mendatang. 
“Sesungguhnya agama itu mudah, dan tiada seseorang yang mencoba mempersukar dalam agama, melainkan ia akan kalah. Oleh karena itu tepatlah, dekat-dekatlah dan bukalah harapan, pergunakanlah waktu pagi dan sore dan sedikit di waktu malam.” (HR. Bukhari). 
septi ayu azizah
Septi Ayu Azizah penyuka literasi, volunteer dan pendidikan. Penikmat jalan-jajan ini, lahir di Banjarnegara, ber-KTP Jakarta, tinggal di Depok. Menulis bagi Septi adalah mencurahkan asa agar bermanfaat tentunya. Aktivitas Septi sebagai guru, pegiat literasi sekolah, dan tentunya menjadi istri penuh waktu.

Related Posts

Posting Komentar