septiayu

Istikharahku~Serial Nikah #3



Banjarnegara, 11 Juni 2018
Bersaksi cinta di atas cinta
Dalam alunan tasbihku ini
Menerka hati yang tersembunyi
Berteman di malam sunyi penuh doa
Sebut namamu terukir merdu
Tertulis dalam sajadah cinta
Tetapkan pilihan sebagai teman
Kekal abadi hingga akhir zaman
Bersaksilah cinta di atas sajadah cinta yang ku pilih. ~Istikharah Cinta-Sigma~
Aku kira menikah itu menyenangkan, mulai dari prosesnya hingga akhir dari cerita sebuah pernikahan yang entah di mana ujungnya (belum ngrasain nikah padahal. Wkwkwk). Ternyata aku keliru, semua hal yang manis tak begitu kentara, bahkan hingga detik aku menuliskan kisah ini hanyalah semu. Nggak ada manis-manisnya. Hambar, hampa dan resah. Apakah imanku yang salah? Atau hatiku yang keliru?

Eiiiits, kita akan kembali pada titik kisah ini bermula, hehe. Yups, niat hati melanjutkan “Serial tentang Nikah”, sebelumnya sudah tertulis dua judul dalam serial ini, “Jodoh Pasti Bertamu” dan “Mahar 50 Juta”, dua judul itu berkisah tentang orang lain, yang ku tulis demi mengobati kegalauan diri saat tengah menjalani proses ta’aruf. Ya, tepat sekali tebakan kalian nitijen yang budiman, ku tulis itu karena oh karena. Hehe. Kali ini kisah tentang diriku. Yaah, sekedar share pengalaman, tapi ku yakin ke depan kisah ini lebih banyak soal curhat. Hehe. Mohon maap nitijen yang terhormat. Semoga tetap ada manfaatnya yaa.. Cikidot..

Jumat, 16 Februari 2018, pukul 20:21 WIB.
Hapeku berdering, sebuah pesan WA masuk. Saat ku baca, untuk pertama kalinya seluruh tubuhku bergetar, hingga ambruk di kasur (ah, untung di kasur, kan empuk). Ku sandarkan tubuh pada dinding tembok, ingin sekali rasanya ekting garuk-garuk tembok sambil sikap lilin, untung suara hatiku bertalu, “sholat Seep, minta petunjuk sama Allah!” Maka untuk pertama kalinya setelah sekian lama kulupa entah kapan terakhir kumenangis dalam sholat, aku menangis dalam sholatku.

Ketika tangan-tangan ini diangkat untuk bermunajat hatiku berteriak, “Ya Robb, kenapa dia? Kenapaaa?? Apakah tidak ada makhluk lain selain dia? Bukankah ada begitu banyak ikhwan? Aku minta satu yang bukan dia atau sejenisnya ya Allah, yang bukan ‘etoser’.”

Namanya, Pandu Heru Satrio, Etoser Surabaya 2012, eks. Pendamping Etos Surabaya. Otomatis, saat ia jadi etoser aku pun etoser, saat ia jadi pendamping, aku pun demikian. Aaah, rasanya aku ingin maki-maki di depan mukanya, “Kenapa sih Ndu lu milih gua? Kenapaa?!!” haha, yang ada ku hanya bisa teriak-teriak ke langit macam teriakan suporter di film Chicken Little yang kecewa si Chicken Little jadi pemain, “Why him?!”, “Why now?!”
Tapi nyatanya seusai sholat dan menenangkan diri dengan tilawah, saat itu juga ku telfon Emak-Babe di rumah.

“Mak, udah siap mantu?”
“Kenapa?”
“Ada yang mau datang ke rumah”
Sontak Hp beralih ke Bapak,
“Trus, Indonesia Mengajarmu gimana?”
“Entah..”
“Kenal sama orangnya?”
“Enggak..”
“Yaudah cari tahu dulu orangnya”
“Oke.”

Berikutnya ku hubungi guru ngajiku. Ku sampaikan tentang seorang ikhwan yang menghubungi. Aiih, rasanya malu betul diri ini, baru hari kamis kemarin menyampaikan ada yang menawari ta’aruf dengan seorang ikhwan, sekarang ada lagi. Akhirnya ustadzah ku mengajak bertemu esok pagi.
Payah betul diri ini menunggu matahari terbit. Gelap merayap begitu perlahan. Mencoba pejamkan mata, hanya gelisah yang berkuasa. Udah macem ulet keket guling-guling di kasur, bangun ambil mushaf, baca sebentar, tenang, coba lagi pejamkan mata, gelisah lagi, ambil mushaf lagi, baca lagi, coba rebahan di kasur, galau lagi, baca lagi, begitu terus sampai azan subuh berkumandang.
“Septi kenal?” begitu kata ustadzahku mengawali perbincangan.
“Sekedar tahu, beliau etoser dan juga pendamping. Sisanya abstrak.”
“Ngaji?”
“Ya itu lah Mba, kalau dia ngaji harusnya dia minta bantuan guru ngajinya untuk hubungi Mba. Apa pula dia langsung hubungi saya begini. Udah mba, tolak saja, tak usah diproses.”
“Cari tahu dulu to, jangan tergesa-gesa. Nanti Mba bantu cari tahu. Bagaimana?”
“Saya bagaimana Mba saja. Tapi Mba, saya mau berangkat Indonesia Mengajar. Pekan depan seleksi di Jakarta, kalau bisa tolak saja ya Mba?”
“Istikharah dulu.”
“...Apabila salah seorang diantara kalian hendak melakukan sesuatu (yang membingungkan), maka lakukanlah shalat (sunnah) dua roka’at-selain sholat wajib-,...”
(HR. Bukhari)
Hari-hari berikutnya, hanya tentang aku dan istikharahku. Tentang sujud panjang pada tiap sholat. Tentang munajat di sepertiga malam terakhir. Betapa aku menjadi ambigu. Sulit sekali memutuskan. Betapa tidak sulit. Awal januari aku begitu ragu dengan diriku, disorientasi masa depan sampai akhirnya menemui titik semangat hidup, menemui mimpi-mimpiku, (Tercatat dipostingan bulan Januari: “Jomblowati”, “Aku Hidup (Lagi)”, “Optimis Sajalah”).

Bertahan atau melepaskan? Keduanya sama sulitnya. Tapi, hakikat ikhlas selalu pada melepaskan. Melepaskan ego untuk sampai pada titik ketaatan penghambaan. Lantas, kau hanya perlu menengok dalamnya hati. Jika ada dua suara dari luar yang mengatasnamakan kebaikan, kau hanya perlu mendengar suara terdalam hatimu. Suara hati terdalam selalu menjadi jawaban terbaik atas suara-suara lainnya. Jengan sibuk melihat ke luar, tapi masuklah ke dalamnya hati, (ah, bagian ini bahkan sudah aku tulis di postingan sebelumnya, “Melepas Mimpi”, 5 Maret 2018).

Dalam setiap keraguan yang memenuhi sudut hati, ku berkehendak tak berikan celah pada setan untuk menyusup. Inilah bagian tersulit, saat hati begitu ragu memilih. Maka tak ada hal lain yang bisa ku lakukan selain mendekat kepada Rabb Pemilik Hati. Setiap waktu ku merayu kepada-Nya. Memohon tenang-tentramnya hati. Memohon petunjuk dalam memutuskan. Memohon IA menuntun kepada pilihan yang tepat dan terbaik menurut-Nya.
(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tentram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tentram
(QS. 13: 28)
Aku hanya butuh Robbku, hanya aku dan Engkau, dan itu cukup. Cukup sebagai jalan istiharahku. Istikharah cintaku. Maka berkali-kali ku istikharahkan. Memperlama sujud dengan doa-doa yang membawa pada tentramnya hati. Berkali-kali ku bertanya pada dalamnya hati, sejak istikharah yang pertama kali hatiku menjawab “iya”, sedang fikirku berkali-kali menolak. “tidak, tidak untuk seorang etoser.” Hanya itu alasanku, alasan yang sungguh tidak syar’i. Hanya, aku hanya perlu menepis suara timpang, memantapkan lagi hati atas jawaban istikharahku, sembari terus menerus membanjiri diri dengan keyakinan, “Menikah itu ibadah, jadikan alasan menerima karena ibadah, pun ketika menolak karena ibadah. Hanya itu, IBADAH.”

Kalau kalian bertanya, bagaimana jawaban istikharah itu? lewat mimpi kah? Aku jawab tidak. Pernah kudengar ceramah Ustadz, jawaban istikharah itu tak harus lewat mimpi. Kebanyakan kita mengaitkan jawaban istikharah lewat mimpi. Tak jadi soal kalau kita tidur dengan menjaga adab-adab sebelum tidur (berwudhu, menghadap kiblat, membaca dzikir dan doa sebelum tidur, berdoa kepada Allah agar istikharah dijawab lewat tidurnya).

Nah beda cerita jika sebelum tidur, bukannya menjalankan sunnah sebelum tidur, sebelum memejamkan mata yang dilihat terakhir kali smartphone. Kepoin si dia dari semua penjuru aplikasi: instagram, tumbler, twitter, path, facebook, google, youtube. Saat berselancar, bukan hanya foto si dia yang terekam indera, bahkan sahabatnya si dia pun turut mewarnai memori. Wajar saja kalau setelahnya bermimpi si dia, atau temannya si dia, lha yang terkahir kali dilihat sebelum jatuh tertidur itu kok. Jelas saja syaithonirojim yang cerdas tangkas nan pemberani itu menggoda kita, membuai kita dalam mimpi.

Mantap. Hati yang mantap. Begitulah jawaban istikharah. Bagaimana itu? hanya hati kita yang merasainya. Hati orang-orang yang istikharah. Hati orang-orang yang memasrahkan diri kepada Sang Penguasa Hati. Biar Allah saja, sesuai kehendak-Nya. Dalam istikharah, dengan mengharap rahmat Allah SWT supaya berkehidupan yang bebas, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.

Ibadah. Hanya itu yang tertanam. Nikah karena ibadah. Satu-satunya alasan untuk menolak atau menerima. Istikharahku yang pertama sesaat setelah pesan WA itu, dengan jelas menerima. Meski penerimaan itu hanya tesimpan dalam hati. Bibirku, sikapku, menolaknya. Penolakan yang semakin membawaku pada ricuhnya diri. Musyawarah, aku memerlukannya. Setelah istikharah, aku akan bermusyawarah.

Lanjut ke serial tentang nikah #4 yaks... duuh, yang #3 ini kepanjangan gaiis.. maap yaks..hehe
septi ayu azizah
Septi Ayu Azizah penyuka literasi, volunteer dan pendidikan. Penikmat jalan-jajan ini, lahir di Banjarnegara, ber-KTP Jakarta, tinggal di Depok. Menulis bagi Septi adalah mencurahkan asa agar bermanfaat tentunya. Aktivitas Septi sebagai guru, pegiat literasi sekolah, dan tentunya menjadi istri penuh waktu.

Related Posts

Posting Komentar