septiayu

Penolakan-Serial Nikah #5

Kronologi di TKP, dia datang dari pintu depan, aku keluar sambil bawa nampan isi teh dalam gelas. Lanjut duduk manis di samping Bapake. Tanpa grogi, tanpa gemeteran, tanpa keributan, tanpa malu-malu apalagi malu-maluin. Pokoke madep mantep anyep, Bahahaha. 

Dengan bangganya aku merencanakan gerak-gerikku nanti saat dia datang ke rumah untuk beretemu keluargaku. Bahkan aku sempat latihan, semacam gladi resik posisi duduk terbaik di ruang tamu. Cara terbaik menyajikan hidangan dan duduk manis sambil menghiasi alur obrolan ‘dia’ dengan Bapake-Mamake. Jauh-jauh hari sudah kutata hati sampai rapi jali, jadi nggak akan ada lagi adegan ngumpet di dapur macam tempo hari saat ta’aruf perdana. 

Begitu bangganya diri ini yang bisa tenang menyambut hari itu, hari di saat ia hendak datang ke rumah untuk kali pertama, menemui Bapak, Mamak dan Kakak, ah.. jadi ini yang disebut “Jodoh Pasti Bertamu”. Bahagianya diri tak merasai syndrom “Jodoh Pasti Bertamu”. 

Tidak ada adegan bolak-balik kamar mandi, menjadi satu prestasi yang warbiyasyaah. Jadi, bukan perasaan bangga nan bahagia karena si jodoh hendak tiba, hanya sekedar perasaan mampu menguasai diri yang kebangetan groginya..haha. 

Eng ing eng... Saat pintu diketuk, sayup-sayup terdengar salam dari balik pintu, seketika itu aku hampir ambruk. Entah kenapa persendiannku terasa luruh. Ke mana ketenangan yang sempat hinggap lama?? Woooiii... lagi-lagi tubuhku menggigil. Adegan maju mundur syanthik ala princess Syahrini, duduk-jongkok-duduk-berdiri-jongkok-duduk-berdiri-maju-mundur syhantik-kepalapundaklututkakilututkaki. Wahai Pemilik Jiwa, apa yang terjadiiii!! Mamake mulai berteriak menyuruhku mengeluarkan gelas-gelas teh. Gemetaran aku membawa nampan, harap-harap cemas antara gelas yang gemertak atau tanganku yang tak lagi baqoh menggenggam ujung nampan. Ehalah, baru ujung nampan yang digenggam aja gemetarannya begini. Isi gelas bergoyang-goyang nyaris tumpah, sedang keringat dingin satu per satu luruh dari dahi, nahloh keringatnya nyaris jatuh di dalam gelas teh. 

Gemetaran tangan menyaji gelas-gelas teh. Sembari berucap yang entah lebih terdenger seperti erangan atau bisikan, “Silakan tehnya akh...” suaraku terbawa angin yang secara tiba-tiba menyusup, buru-buru aku berlari ke dapur, menampar-nampar muka, menyumpahi diri. Ayolaaah, menyedihkan sekali dirimu ini Seeppp... duuh, apa susahnya sih duduk manis di situ, dengarkan cakapnya, perhatikan ekspresi Bapak-Mamak-Kakak, hanya duduk manis. Batinku bergejolak, jengkel sekali dengan kaki yang enggan melangkah menuju ruang tamu. Bahkan badanku tanpa tahu malu ambruk, terduduk di bangku dapur. Tak hentinya aku menyumpahi diri yang menjengkelkan.

Aku di sini dan kau di sana... 
Hanya terdengar bias suara... 
Sayup-sayup kumenguping pembicaraan mereka berempat di ruang tamu sambil menggigit bibir, harap-harap cemas. Betapa tidak cemas diri ini, tentang ketakmantapan hati Bapakku, anak perempuan satu-satunya ini berproses dengannya. Belum lagi kecemasan-kecemasan lainnya, bagaimana kalau proses ini tak berlanjut? Bagaimana kalau gagal? Bagaimana kalau Bapak-Mamak menolak? Pikiran-pikiran negatif tumpang tindih jadi satu. Semua perasaan itu disimpan sendiri, sambil sayup-sayup menguping percakapan yang tak begitu jelas. Susah payah membuka telinga lebar-lebar, menguping dari celah pintu. 

“Eh, ndak bisa!” hatiku berdebar mendengar nada tinggi Bapak seolah menolak permintaan ‘dia’ yang telah mengungkapkan maksud datang ke rumah untuk silaturahim sekaligus mengkhitbah. Untungnya kalimat itu tak berhenti sampai di situ, masih ada lanjutannya, “Nggak bisa, kalau mau lamar ya datanglah ke sini dengan keluarga, jangan sendiri begini. Kan menikah bukan cuma urusan kalian berdua, tapi juga dua keluarga.” Huuufth... 

“Yakin sama dia? Nggak ganteng gitu... Haha.” Begitu kalimat yang pertama kali ku dengar dari Bapakku, dalam obrolan malam setelah si dia meninggalkan rumah. Selanjutnya, kalimat-kalimat berikutnya dari Bapak adalah kalimat teror “seberapa yakin aku dengannya” sedang Bapak tak terlalu yakin. Bapak selalu berharap anak perempuan satu-satunya ini bisa berdampingan dengan sosok yang mapan. “Sapi Metal dong minimal”, iyak, sapi metal menjadi seserahan (hantaran) yang dianggap “mewah” bagi warga kampungku, terutama bagi generasi Bapakku. 

“Aiih, kalau sapi metal, mana ada yang mau denganku Pak. Kan Bapak sendiri yang pernah bilang, etoser macam aku paling juga dapetnya yang sejenis.” 


Hanya tawa Bapak yang menjawab pernyataanku. Ah jangan-jangan gegara ucapan Bapak tempo dulu sekali itu, mana mau orang kaya menikahi sobat missqueen macam aku ni, jadilah kan berjodoh dengan sobat missqueen sesama etoser, oh my. Pikiranku berkecamuk tak karuan, sambil terisak-iya nyampe terisak dan sampai hari ini aku masih bertanya-tanya kenapa aku sampai nangis-nangis malam itu memperjuangkan orang yang aku aja belum kenal, hatiku aja masih bertanya hai-hai siapa dia.

“Kalau Bapak nggak setuju, nggak papa kok dibatalin. Tapi kenapa Bapak dari awal mau nerima kalau ujung-ujungnya ndak mau.” Gerutuku bercampur umbel dan tetes air mata mengalir di setiap derai kata. 

Tawa Bapak semakin menjadi, melihat telenovela kasih tak sampai. Baiqlah, aku menyerah, percuma saja ngobrol sama Bapak kalau hanya dijawab dengan tawa. Sempoyongan aku masuk ke kamar Mamak, menumpahkan segala umbel dan air mata di bantal. Mamak memelukku, seperti biasa, mau aku nangis atau tidak, bahagia atau sedih, Mamak selalu memelukku dari belakang. Nggak ada kata-kata yang diucapkan, hanya sebuah pelukan hangat, yang membuatku merasa aman, nyaman, dan terlelap. 

Esoknya, pagi-pagi aku berkemas karena harus kembali ke Semarang. Biasanya, momen ini yang paling kutunggu karena Bapak akan menasihatiku dengan kalimat bijak. Tapi kali ini aku ingin buru-buru pergi, dengan perasaan yang tak menentu, enggan sekali mengobrol dengan Bapakku. 

“Bilang ke Pandu, segera kabari kalau mau datang ke rumah bareng keluarganya!” Kalimat itu mengudara, terucap dari Bapak yang mengawasi gerak-gerikku. Ah ternyata benar, lelaki hanya butuh waktu untuk berkontemplasi, menyendiri dalam perenungan panjang, sesudah itu, segala keputusan adalah yang terbaik untuk semuanya. 

Apakah aku bahagia? Entah. Aku terkejut dengan kalimat Bapak, ada perasaan lega, tapi lebih banyak lagi perasaan khawatir. Oh my, itu artinya cepat atau lambat tibalah khitbah, satu tahap lagi menuju akad. Aku mengkerut, aaaaaa... ingin kuberlari ke hutan belok ke sungai nyebur berjam-jam di dasar sungai nyari belut, belutnya dapat tapi licin di tangan, berhasil ditangkap dibawa ke pinggir sungai, belutnya lepas masuk lagi ke sungai. Licin, susah dikendalikan. Begitu juga perasaanku. 

Apa... Apa yang harus ku perbuaat.. Haaah! 
Beruntung, beberapa hari terakhir aku selalu menenteng buku “Di Jalan Dakwah Aku Menikah” karya Ustadz Cahyadi Takariawan, dari buku yang kubaca itu aku praktikan sedikit demi sedikit setiap proses yang aku jalani. Menyerahkan, berpasrah pada keputusan Robb Yang Maha Tinggi. 

Aku kais lagi hati yang berserakan, kutata dalam nampan iman, betapa iman adalah soal keyakinan. Yakin, Allah-lah Yang Maha Kuasa atas setiap perkara, Allah-lah yang Maha Tahu paling ngerti yang kita mau. Menyerahkan bukan berarti menyerah, ia adalah sorot keyakinan, bukti akan iman. Karena hidup akan indah jika kita menyerahkan pada kehendak-Nya. 

“Orang-Orang yang beriman dan hati mereka menjadi tentram dengan berzikir (mengingat) Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tentram.”
(QS. Ar-Ra’du: 28)
septi ayu azizah
Septi Ayu Azizah penyuka literasi, volunteer dan pendidikan. Penikmat jalan-jajan ini, lahir di Banjarnegara, ber-KTP Jakarta, tinggal di Depok. Menulis bagi Septi adalah mencurahkan asa agar bermanfaat tentunya. Aktivitas Septi sebagai guru, pegiat literasi sekolah, dan tentunya menjadi istri penuh waktu.

Related Posts

1 komentar

  1. waaah, dikomen sama blogger kece tuuuh kembang kempis dan malu rasanya. tulisan masih acakadut. Mohon kritik saran konstruktifnya kak.

    BalasHapus

Posting Komentar