septiayu

Nafkah dalam Rumah Tangga


“Sesungguhnya agama itu mudah, dan tiada seseorang yang mencoba mempersukar dalam agama, melainkan ia akan kalah. Oleh karena itu tepatlah, dekat-dekatlah dan bukalah harapan, pergunakanlah waktu pagi dan sore dan sedikit di waktu malam.” (HR. Bukhari).

Kemudahan dalam berislam ditunjukkan dari berbagai aspek salah satunya dalam hal nafkah dan menafkahi. Karena pada hakikatnya Allah telah menjanjikan rizki pada setiap hamba-Nya. Mempersulit diri dengan mengada-ada soal ketidakmampuan diri dalam hal nafkah hanya akan membuat hidup menjadi tidak berkah.

Berbicara soal nafkah dari sudut pandang wanita, tentu sebagian dari kaum hawa tak ingin berbelit, mengingat tanggug jawab seorang anak perempuan itu ada pada orang tuanya hingga ia menikah. Lantas, setelah menikah ia menjadi tanggung jawab bagi suaminya. Hal ini sudah barang tentu tidak bisa diganggu gugat, maka menjadi seorang akhwat sejatinya tak perlu diliputi rasa khawatir soal nafkah. Jika demikian, lantas apakah ikhwan yang memiliki rasa khawatir? Lagi-lagi kita diingatkan untuk tak pernah khawatir.

Kita suka mewajar-wajarkan kekhawatiran kita soal rizki, soal kemampuan nafkah. Padahal telah tertera jelas bahwa rizki kita telah tertakar. Di antara jawaban Rasul atas kekhawatiran umat, beliau bersabda, “Makanan seorang cukup untuk dua orang, dan makanan dua orang cukup untuk empat orang, dan makanan empat orang cukup untuk delapan orang.” (HR. Muslim). Artinya jika selama lajang bisa makan untuk diri sendiri, maka ketika menikah makanan bisa mencukupi untuk berdua, bahkan jika bertambahnya personil dalam keluarga pun akan dicukupkan.

“Dan nikahkanlah orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak nikah di antara hamba-hamba sahayamu yang perempuanat. Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya, dan Allah Maha Luas pemberian-Nya lagi Maha Mengetahui”. (QS. An Nur: 32).

Al Qur’an mengecam pandangan pesimis umat manusia soal rizki. Ayat di atas jelas menyebutkan, Allah memberikan berita gembira berupa kecukupan kehidupan bagi pasangan yang melakukan pernikahan. Maka dengan alasan apalagi kita akan berdalih ketidakmampuan nafkah sedang Allah menjamin rizki bagi tiap-tiap makhluk?

Jika kita mampu memusnahkan kekhawatiran maka kita hanya perlu belajar soal pengelolan nafkah. Pengelolan nafkah bagi pasangan yang baru menikah hendaknya dimulai dengan menentukan siapa pengelola keuangan keluarga. Penentuan ini kemudian yang akan menjadi dasar bagaimana sebaiknya keuangan akan dikelola lewat kesepakatan bersama.

Jika kita melihat kebiasaan masyarakat yang menjadikan seoarang wanita atau isteri sebagai manajer keuangan keluarga, maka sudah sepatutnya sedini mungkin seoarang akhwat belajar cara pengelolaan keuangan, meski dalam hal ini tidak dipungkiri seorang ikhwan pun bisa menjadi manajer keuangan keluarga. Maka sebaik-baik manajer keuangan adalah mereka yang mampu membuat pos-pos keuangan sesuai dengan pemasukan, dan semu itu bisa dipelajari dan didiskusikan bersama.

Bagi saya pribadi, yang menjadi kunci dari keberkahan rizki yang menjadi sumber nafkah keluarga bukan terletak pada banyak atau sedikitnya, namun terletak pada kesyukuran seorang hamba atas jatah yang ia peroleh, kebahagiaan dalam mengelola, dan ketawadhuan dalam membelanjakannya. Jangan tertipu oleh mewahnya dunia, karena Allah mencela hamba-Nya yang berlomba-lomba dalam orientasi materi, sehingga membutakan mata ruhani, dan membakar nafsu duniawi.

“Bermegah-megahan telah melalaikan kamu, sampai kamu masuk ke dalam kubur.” (At Takatsur)

“Yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitungnya, dia mengira bahwa harta itu dapat mengekalkannya.” (Al Humazah: 2-3).
septi ayu azizah
Septi Ayu Azizah penyuka literasi, volunteer dan pendidikan. Penikmat jalan-jajan ini, lahir di Banjarnegara, ber-KTP Jakarta, tinggal di Depok. Menulis bagi Septi adalah mencurahkan asa agar bermanfaat tentunya. Aktivitas Septi sebagai guru, pegiat literasi sekolah, dan tentunya menjadi istri penuh waktu.

Related Posts

Posting Komentar