septiayu

Menyusuri untuk Mensyukuri Bagian Dua

syukur
Serial nikah, menyusuri untuk mensyukuri bagian dua. Lanjutan dari postingan sebelumnya, Sob! Yuk yang penasaran langsung saja baca. 

Surabaya, 28 Juni 2018

Hari kelima setelah akad, kau mengajakku ke kota perjuangan “Surabaya” melalui perjalanan yang panjang. Layak betul kota ini disebut perjuangan, 28 Juni 2018, tercatat dalam lembar daftar panjangnya, tentang sejarah hidup kita yang baru saja dimulai. Belum juga usai kami menikmati masa-masa indah awal pernikahan, ujian satu per satu datang menjemput. Terpaksa, kami urungkan niat yang seharusnya fokus merencanakan persiapan keberangkatan S2 suami di Belanda. Kami abaikan tiket diterimanya suami pada kampus Erasmus University Rotterdam. Kabar buruk selanjutnya, suami mungundurkan diri dari perusahan yang cukup bonafide di Surabaya, dengan alasan pekerjaan dan pimpinan perusahaan tak sejalan dengan prinsip hidup kami.

Tanpa tabungan, tanpa pekerjaan. Kami berpindah dari kosan yang kami anggap mewah ke kosan yang entah bagaimana menyebutnya. Kosan kami hanya sepetak ruang kosong, dengan kamar mandi di luar yang dipakai bersama-sama dengan penghuni kosan lainnya. Tetangga kamar kami 12 keluarga, diantaranya: buruh kasar bangunan, tukang becak, Mbok Jamu, dan kami berdua: pengangguran.

“Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui.” (QS. An-Nuur: 32).

Berulang kubaca ayat ini dan meresapi maknanya. Berulang kali pula suamiku mengirimkan berpuluh lembar lamaran ke perusahaan, instansi, mengikuti tes seleksi perusahaan ini dan itu, melewati puluhan wawancara, berkali-kali menghabiskan waktu untuk medical check up. Bergerilya dari satu pameran lowongan kerja ke pameran lainnya. Sampai pada seleksi tahap akhir di perusahaan dan berbagai instansi, tak satu pun diterima.

“Berdoa itu berbincang mesra kepada Allah, agar Allah ridho. Jangan khawatir soal dunia, karena Allah sudah menjaminnya.” Begitu kalimat dari ustaz Salim A. Fillah yang kami dengar di Masjid Al-Falah Surabaya tempo hari. Ya, benar sekali kalimat itu, meski suami tak kunjung mendapat pekerjaan, selama enam bulan ini, Allah karuniakan rizki-Nya pada kami. Kami masih bisa makan, kerap kali suami diundang mengisi seminar di kampus-kampus sekitar Surabaya. Sekotak nasi, bingkisan, amplop, menjadi rizki yang kami syukuri setiap harinya. Tetangga-tetangga kami yang meski hidupnya sederhana, hampir setiap malam ada saja yang mengantarkan makanan atau sekadar oleh-oleh dari kampungnya. Padahal, kami tak pernah bercerita tentang kondisi kami, tak satu pun yang tahu. Kasih sayang Allah, pertolongan-Nya sungguh sangat dekat.

Bulan kelima pasca menikah, kami memasuki babak baru, Long Distance Merried (LDM) menjadi pilihan terberat yang harus kami jalani. Aku kembali ke Semarang untuk menyelesaikan kontrak mengajar di Politeknik Ilmu Pelayaran Semarang. Suami pulang ke Jakarta, ke rumah Ibu, sembari ikhtiar melamar pekerjaan. Perabotan rumah tangga, kado pernikahan dari teman-teman, kami jual untuk membeli tiket ke Semarang dan Jakarta. Sisanya, sebagai bekal selama gaji belum di tangan.

LDM bagi kami merupakan masa-masa terberat. Kami baru saling mengenal setelah menikah, baru empat bulan, belum mengerti satu sama lain, belum saling memahami, ego yang tinggi, begitu banyak perbedaan antara si Mr dengan Mrs. Malam-malam semasa LDM kami habiskan dengan marahan, cemberut, esok pagi baikan, saling memaafkan, tapi malamnya kembali lagi, begitu seterusnya selama sebulan. Awal Desember, kontrak mengajarku selesai, seyogianya kami mengakhiri LDM singkat rasa lama, qadarullah, Allah berkehendak lain, suami mendapat panggilan untuk menjadi surveyor perusahaan kapal selama dua pekan di Kalimantan Selatan.

Usai LDM yang menguji kewarasan, kami dipertemukan kembali di Jakarta, di rumah Ibu mertua, biidznillah. Kabar baiknya lagi, suami diterima kerja, meski bukan di tempat yang kami harapkan, tapi cukup sudah membuat kami bersyukur dalam sujud yang panjang. Kabar kurang baiknya, rekening kami saldonya tak bertambah. Gajiku mengajar selama sebulan belum dibayarkan, begitu juga dengan gaji suami saat menjadi surveyor kapal. Kami sangat berhemat untuk keperluan sehari-hari. Sampai di titik, sering kali kami menahan lapar karena terlampau malu untuk berhutang.
septi ayu azizah
Septi Ayu Azizah penyuka literasi, volunteer dan pendidikan. Penikmat jalan-jajan ini, lahir di Banjarnegara, ber-KTP Jakarta, tinggal di Depok. Menulis bagi Septi adalah mencurahkan asa agar bermanfaat tentunya. Aktivitas Septi sebagai guru, pegiat literasi sekolah, dan tentunya menjadi istri penuh waktu.

Related Posts

Posting Komentar