septiayu

Menyusuri untuk Mensyukuri Bagian Pertama


bersyukur

Serial nikah, lama kali tak posting kisah serial nikah. Adakah yang rindu? hehe. Selamat menikmati kisah serial nikah babak baru. Saat-saat awal pernikahan kami, uhuuuy. Semoga bermanfaat ya, Sob!

Manggarai, 7 Januari 2019

Petang di Ibu kota, tak menghadirkan kehangatan: sumpek, penuh, berdebu, berebut, ah, mengeluh saja kerjaku. Aku menunggumu di teras mushola stasiun Manggarai, stasiun commuterline tersibuk di Ibu kota. Termenung saat kusaksikan lalu-lalang yang bukan hanya manusia, tapi juga kereta. Berkejaran kereta seolah tak mau kehilangan banyak waktu, sama seperti mereka, pasukan manusia yang lari terbirit-birit menuju rangkaian ular baja tersebut. Mereka yang terburu-buru sembari asal menikmati camilan pengganjal perut. Sedangkan aku, benar-benar mengganjal perutku, bukan dengan makanan, kuganjal perutku dengan tas. Seharian ini aku baru sarapan. Haus dan lapar, melirik mereka yang berlalu-lalang menikmati cilok, cireng, batagor, roti maryam, dan segala kerabatnya. Kulihat isi dompetku berulang kali, tujuh belas ribu, tak bertambah dari pertama kali kulirik. Ah, aku harus berhemat, lebih baik untuk besok belanja sayur kan? kataku, menguatkan hati sambil meneguk ludah. Aku menunggumu, kau janjikan membawa sekotak nasi, sedangkan perutku tak karuan.

Aku mengingat kata-katamu kemarin, “Bersabar, sedikit lagi, sedikit lagi Insyaallah kita temui titik terang. Ingat kah kita dengan Fatimah dan Ali?”

Kemarin, aku mengaduh. Benar-benar menangis tersedu, enam bulan lebih kita lewati bersama. Pada hari-hari yang terasa begitu sulit mencekik. Rasa lapar yang harus lebih sering ditahan. Rasa putus asa yang harus lebih banyak disingkirkan. Dan kau, kemarin bertanya padaku, dalam reda tangisku, “Adakah kau menyesal menikah denganku?”

Pertanyaan itu kutusukkan pada titik terdalam hatiku, adakah aku menyesal? Hah?

Ya, sebelumnya tak terbayangkan olehku akan begini jadinya. Dulu, sebelum menikah, aku selalu membayang tentang kecukupan hidup setelah menikah. Aku tak perlu payah bekerja mengumpulkan rupiah untuk membeli yang kumau. Cukup katakan saja, lantas semua serba mudah tersaji di depan mata.

Kukira, kukira, kukira, dan kukira...

Aku hanya terlalu banyak berandai-andai, membayangkan, semua hanya tentang khayalan semu. Apa sih yang kucari? Aku hanya mencintai sebuah konsep. Konsep hidup makmur berkecukupan. Konsep tentang kemapanan. Konsep tentang, lagi-lagi duniawi.

Apakah aku kecewa? Apakah aku menyesal? Ya, aku menyesal. Aku menyesali diri yang tak bersyukur, begitu banyak yang tak kusyukuri. Begitu banyak menghitung nikmat yang belum didapat, hingga luput merangkai kesyukuran atas berlimpah nikmat yang Sang Pemilik Hidup telah berikan.

Menjadi istri, menjalani segenap peran baru yang serba asing. Menjalani takdir dengan canggung dan kaku. Semua kisah ini, bermula saat kita memutuskan kehidupan yang hanya kita berdua saja. Tak bergantung pada keluarga. Tak bergantung pada siap pun, kecuali pada-Nya, Robb Pemilik Hidup. Yah, inilah keluarga kita, aku dan kamu.

Bersambung ke serial nikah.
septi ayu azizah
Septi Ayu Azizah penyuka literasi, volunteer dan pendidikan. Penikmat jalan-jajan ini, lahir di Banjarnegara, ber-KTP Jakarta, tinggal di Depok. Menulis bagi Septi adalah mencurahkan asa agar bermanfaat tentunya. Aktivitas Septi sebagai guru, pegiat literasi sekolah, dan tentunya menjadi istri penuh waktu.

Related Posts

Posting Komentar