Idul Adha tahun ini menjadi lebaran paling “mewah” dalam hidupku. Bukan karena hidangan yang berlimpah atau banyaknya hewan kurban yang disembelih, tetapi karena perjalanan panjang yang membawaku pada desa terpencil di puncak pegunungan, jauh dari gemerlap kota, namun dekat dengan pertanyaan yang menampar diri, “Apa yang sudah kamu lakukan untuk agamamu? Untuk saudara-saudaramu sesama muslim?”
Inilah kisah perjalanan penuh makna di tanah para raja, menyampaikan amanah tebar hewan kurban di Tana Toraja.
Indahnya Keberagaman di Tanah Para Raja
Kabupaten Toraja dan Toraja Utara merupakan dua wilayah di Sulawesi Selatan yang dikenal luas karena keindahan alam dan tradisi budayanya. Namun, tak banyak yang tahu, bagi umat Islam daerah ini juga menjadi salah satu medan dakwah yang menantang. Mayoritas penduduk Toraja beragama kristen, dan menurut informasi dari Kak Hilmi (mitra Dompet Dhuafa Sulawesi Selatan sekaligus putra seorang tokoh agama di Toraja) jumlah muslim di sini sekitar 12%.
Meski minoritas, muslim Toraja hidup damai berdampingan dengan segala tradisi, budaya dan agama mayoritas masyarakat Toraja. Toleransi seolah lahir di sini. Contohnya, pada upacara kematian Rambu Solok, di mana perayaan berupa penyembelihan puluhan ekor kerbau dengan daging yang dibagikan kepada seluruh warga. Pihak pelaksana Rambu Solok, biasanya akan memberikan kerbau hidup kepada tetangganya yang muslim untuk mereka sembelih sendiri agar sesuai syariat dan bisa dinikmati oleh masyarakat muslim di sekitar.
Titik Awal Perjalanan Menuju Sanggalangi
Setalah napak tilas di Tana Toraja yang indah akan sejarah dan budaya leluhur, kami bertolak ke Toraja Utara, tepatnya menuju kecamatan Rantepao. Di Rantepao berdiri dengan gagah Masjid Besar Rantepao yang menjadi salah satu pusat kegiatan dakwah Islam di Toraja Utara. Ayah Kak Hilmi merupakan tokoh di masjid Rantepao. Beliau merupakan guru agama pertama di Tana Toraja yang otomatis mengajar agama di berbagai sekolah dan rutin berdakwah hingga ke pelosok.
Desa Sanggalangi merupakan salah satu daerah binaan keluarga Kak Hilmi yang berada di daerah pegunungan Rantebua. Mayoritas penduduk di sana muslim, namun pengetahuan mereka tentang agama sangat minim karena ketiadaan guru dan akses yang sangat terbatas. Desa Sanggalangi inilah yang akan menjadi titik tebar hewan kurban Dompet Dhuafa Sulawesi Selatan.
Kami menempuh perjalanan dua jam dari Rantepao menuju Sanggalangi. Jalanan tanah, bebatuan, berlumpur, sesekali melewati sungai kecil, tanjakan-turunan curam membuat kami serasa benar-benar naik gunung. Mobil yang kami tumpangi berjuang keras menerobos medan sulit.
Sambil terhuyung-huyung di dalam mobil, aku membayangkan perjuangan warga Sanggalangi yang harus menempuh jalan serupa hanya untuk membeli kebutuhan pokok di kecamatan. Kami tiba menjelang maghrib. Sedikit saja terlambat, tak bisa dibayangkan perjalanan menyusuri gelapnya malam.
Malam Lebaran di Puncak Gunung
Malam takbiran selalu menjadi malam yang istimewa dalam hidup. Biasanya, kami akan berkumpul di masjid bersama keluarga dan tetangga untuk bersama-sama menabuh bedug, bertakbir keras-keras dengan pengeras suara seolah berlomba mengalahkan suara takbir masjid-masjid tetangga kampung.
Namun, malam takbiran kali ini sungguh berbeda. Langit Sanggalangi memeluk dingin, diselimuti kabut tipis yang turun pelan-pelan. Tak ada gemerlap lampu, tak ada toa yang menggelegar, tak ada bedug yang bertalu, bahkan tak terdengar suara takbir meski dari kejauhan.
Di masjid yang baru berupa pondasi dan tiang penyangga ini, sekelompok kecil warga berkumpul, duduk beralaskan tanah pegunungan, perlahan menggemakan takbir.
“Allahu Akbar, Allahu Akbar... Laa ilaaha illallah...”
Suara mereka lirih, bergetar, tak serempak, tak megah. Tetapi, aku yakin langit tahu, takbir di sini begitu tulus. Takbir dari puncak kesunyian. Takbir dari hamba-hamba yang mungkin tak dikenal dunia, tak menjamah gemerlap dunia.
Tiada pengeras suara, hanya suara takbir yang terbawa angin gunung, menyusup di sela-sela pohon-pohon hutan yang tinggi. Ditingkahi nyanyian serangga malam, serta suara ranting yang bergesekan. Di masjid tertinggi di kecamatan Rantebua, takbir tak memekakkan telinga, tapi menampar hati dengan kelembutan.
Malam takbiran di desa Sanggalangi bukan tentang kemeriahan, tapi tentang keikhlasan. Tentang merayakan kemenangan iman di tengah keterbatasan. Tentang menumbuhkan harapan di tempat yang nyaris dilupakan.
Malam itu, aku tak menangis karena sedih. Tapi karena malu. Malu pada diriku sendiri, yang selama ini sering melalaikan syukur, melupakan bahwa suara paling indah bukan selalu yang paling keras, melainkan yang paling jujur dari dalam dada.
Sesekali aku menatap langit-langit masjid yang beratap daun kelapa, cahaya gemintang seolah ikut bertakbir, memeriahkan malam lebaran. Lantas, angin gunung berhembus pelan, suara alam menjadi latar, dan hati ini berkali-kali berbisik, "Sudah seberapa sering kita lalai dari syukur?"
Perjuangan Warga Sanggalangi Memenuhi Panggilan-Nya
Udara pegunungan membawa aroma kedamaian yang tak bisa dijelaskan dengan kata. Kami menyambut hari lebaran penuh suka cita. Usai berbenah, kami bersama warga berjalan menuju masjid. Berjalan sembari menyimak cerita warga yang harus berjalan kaki 30-45 menit menuju masjid. Hanya sekitar 30 rumah warga yang mendiami daerah ini, itu pun dengan jarak yang berjauhan.
Meski berjalan kaki naik turun gunung dengan jalanan tanah dan berbatu, tak nampak lelah di wajah mereka. Warga Sanggalangi ini sangat ceria dan kuat. Yang lebih mencengangkan, saat berpapasan dengan seorang kakek yang berjalan kaki selama 40 menit dari rumahnya menuju masjid dengan begitu gagah dan cepat langkahnya. Sedangkan aku? tertinggal jauh di belakang, ngos-ngosan mendaki dan menuruni jalanan pegunungan.
Desa Sanggalangi ini terdiri dari beberapa dusun dengan tiga masjid/mushola. Bapak Rantelino, satu-satunya penyuluh agama di desa Sanggalangi. Beliau, seorang guru agama sekaligus imam di tiga masjid berbeda, dengan jarak tempuh antar masjid 1–2 jam. Karena keterbatasan tenaga, kami pun diminta menjadi imam dan khatib Ied, sekaligus Imam dan khatib salat Jumat. Sehingga Bapak Rantelino bisa mengisi masjid lainnya. Sementara itu, satu dusun terpaksa tidak bisa melaksanakan salat Ied karena keterbatasan informasi dan jarak yang sangat jauh.
Tak ada sinyal. Tak ada toa. Tak ada kabar cepat yang bisa menyatukan umat. Sebuah potret keterbatasan di bumi yang kaya.
Kurban di Tana Toraja: Kurban Pertama Sepanjang Sejarah
Tahun ini menjadi momen bersejarah bagi warga Sanggalangi. Untuk kali pertama dalam hidup mereka, hewan kurban disembelih di kampung mereka. Dompet Dhuafa mengantarkan 1 ekor sapi dan 2 ekor kambing dari donatur. Jumlah yang mungkin sedikit jika dibandingkan kurban di kota, tapi begitu besar bagi mereka. Dagingnya dibagikan hingga ke dusun tetangga. Sebagian dimasak bersama, dinikmati dalam kebersamaan yang penuh syukur.
Di sini aku mulai tersadarkan, mengapa kurban harus ditebar ke pelosok. Karena di sanalah keikhlasan, kebersamaan, dan makna kurban terasa begitu nyata. Menembus batas geografis, menyentuh hati sebagai bentuk perhatian kepada saudara seiman.
Mencari Cahaya di Tengah Kabut Pegunungan
Di pegunungan Sanggalangi, jalanan bukan sekadar tanah yang dilalui kaki, ia adalah saksi perjalanan panjang tentang perjuangan hidup, pencarian kebenaran, dan keteguhan hati dalam memeluk keyakinan. Di tempat yang tak mudah dijangkau kendaraan, masyarakat hidup dalam keheningan. Mereka tak hanya bertahan atas kerasnya alam, tetapi juga atas pergelutan batin: tentang iman, tentang identitas, tentang mencari tempat berpijak yang paling menenangkan jiwa.
Seperti kisah keluarga Kak Dinda (24 tahun). Ibunya adalah seorang mualaf yang bersyahadat setelah dewasa, kemudian menikah dan lahirlah Dinda sebagai seorang Muslim. Saat usia SMP, Dinda tinggal di rumah neneknya yang dekat dengan sekolah. Dinda pun harus mengikuti agama sang nenek. Hingga saat SMA ia bersekolah di Makassar dan kembali memeluk Islam.
Begitu banyak cerita warga Sanggalangi yang lahir-besar-tumbuh dalam tradisi yang berbeda, lalu menemukan cahaya Islam di tengah perjalanan hidupnya. Namun, cahaya itu tak selalu terang, kadang redup saat harus memilih ikut kerabat lain karena jarak sekolah yang terlalu jauh, kadang padam ketika fasilitas ibadah dan pengajaran agama tak mampu menjangkau langkah mereka. Beberapa anak terpaksa berpindah agama hanya agar bisa bersekolah, menumpang hidup, atau diterima di lingkungan yang lebih mudah dijangkau.
Namun lihatlah, di balik perjalanan iman itu bukanlah kehampaan, melainkan kerinduan yang dalam pada cahaya yang benar-benar menuntun. Mereka tak berhenti mencari. Meski keimanan sempat terombang-ambing, namun jiwa yang haus akan kebenaran terus menuntun mereka kembali. Seperti Kak Dinda, yang memilih untuk kembali, memeluk Islam dengan sadar dan damai.
Inilah kisah tentang iman yang dicari, bukan diwarisi. Tentang keyakinan yang dipilih setelah perjalanan panjang yang penuh luka, ragu, dan harap. Di Sanggalangi, kita tak hanya melihat gunung yang menjulang atau jalanan terjal, tapi juga ketabahan hati orang-orang yang rela menapaki kehidupan dengan kaki sendiri, meski harus berjalan kaki puluhan kilometer demi shalat berjamaah, atau memeluk keyakinan di tengah keterasingan.
Mereka tak meminta dikasihani. Mereka hanya ingin kita hadir, menggandeng mereka. Agar kita melihat sendiri bahwa gelapnya pelosok negeri, ada jiwa-jiwa yang bersinar, jiwa-jiwa yang tetap setia mencari cahaya Illahi, dengan segala keterbatasan.
Cermin Diri dalam Perjalanan Tebar Hewan Kurban
Perjalanan ini bukan sekadar menyalurkan kurban. Ia menjadi cermin besar yang menampakkan kondisi saudara-saudara kita. Tentang saudara-saudara kita yang bertahan di tengah keterbatasan. Tentang tugas besar kita untuk hadir, menyapa, dan saling menguatkan.
Dari Sanggalangi kita diingatkan bahwa kurban bukan hanya soal menyembelih hewan, melainkan menyembelih ego dan fakirnya diri. Semoga perjalanan ini tak berhenti di Sanggalangi. Semoga langkah-langkah kecil ini menjadi bagian dari jejak panjang untuk menyalakan kembali lentera iman, di pelosok-pelosok yang lama menanti uluran tangan. Karena sejatinya, kurban terbaik adalah ketika kita benar-benar “hadir” untuk sesama.
Semoga langkah kecil ini menjadi pembuka untuk langkah-langkah besar berikutnya. Dan semoga Allah senantiasa lembutkan hati kita, untuk terus berjuang, berbagi, dan kembali menapaki jalan-Nya dengan penuh kesadaran. Buat teman-teman yang mau bantu pembangunan masjid untuk saudara kita di Desa Sanggalangi, Kecamatan Rantebua, Toraja Utara bisa komen/hubungi aku atau kunjungi sulsel.dompetdhuafa.org.
Terharu... bener ya masih banyak pelosok negeri yg belum terjamah, gak kebayang itu bisa kurban di tempat yg banyak disyukuri
BalasHapusPerjuangan yang luar biasa untuk sampai kesana ya, jadi lebih banyak manfaat karena diberikan ke pelosok
BalasHapusBerkurban di daerah pelosok maknanya lebih terasa. Tak hanya perjuangan menuju lokasi yg berat, tetapi juga bermakna rasa syukur, kesabaran dan keikhlasan.
BalasHapusBenar sekali mbak. Hikmah dari sebuah Hari Raya Idul Adha bukan karena sebuah hidangan melainkan bagaimana kita menjalankan perintah Allah, yakni "Apa yang sudah kita lakukan untuk agama kita? Untuk saudara-saudara kita sesama muslim?”
BalasHapusPerjalanan ke Tana Toraja butuh waktu yang lumayan namun saya tahu mbak pasti tidak merasa lelah, karena semua telah terbayarkan dengan melaksanakan kurban di Tana Toraja dan memberikan daging kurban kepada masyarakat di sana.
MaasyaAllah. Semoga Allah teguhkan keimanan mereka. Aammiinn. Memang harusnya hasil kurban itu dibagikan ke pelosok yg lebih besar manfaatnya.
BalasHapusMasya Allah untuk ke mesjid aja penuh perjuangan, mana jalannya juga nggak rata ya. Alhamdulillah warga Sanggalangi bisa merasakan hewan kurban dari donatur di Dompet Dhuafa. Keren banget yaa pembagiannya merata, sehingga bisa berbahagia kebahagiaan dengan mereka.
BalasHapusmasyallah,..keren banget ini mah dompet dhuafa. pasti itu jadi momen yang terbaik sepanjang hidup masyarakt muslim di tana toraja, merasakan kurban pertama kalinya
BalasHapusMasya Allah...semangat terus ya mbak. Menebar manfaat bersama Tim Dompet Dhuafa. Aku juga menarik satu kesimpulan memang sudah seharusnya qurban ditebar hingga pelosok negeri, agar nafas Islam juga menggema disana. Sehat-sehat ya Mbak. semoga semua Tim selalu dalam lindungan Allah SWT. Amiin
BalasHapusMasyaallah kurban dari Dompet Dhuafa ternyata sampai ke Tanah Toraja. Semoga segala kebaikan yang dibagi di sana membawa keberkahan bagi semua.
BalasHapuswhuaaa deket ini ke rumahku, 2 jam lagi lhoo...seandainya tahu ya, disuruh singgah ke Palopo hehee..mantap ya Dompet Dhuafa, tak henti menebar manfaat
BalasHapusMasyaallah perjuangan yang luar biasa untuk menuju masjid menunaikan sholat Ied. Salut dengan yang dilakukan Dompet Dhuafa membawa cahaya Islam yang indah hingga ke Tana Toraja
BalasHapusCerita tentang kurban di Sanggalangi membuka mata tentang arti kehadiran yang sesungguhnya. Makna berbagi terasa lebih dalam ketika disampaikan kepada mereka yang benar-benar membutuhkan. Perjalanan ini bukan hanya tentang membawa hewan kurban, tapi juga membawa harapan dan pelita bagi saudara seiman di pelosok negeri.
BalasHapusMasyaallah semoga semakin banyak orang tergerak hatinya untuk berkurban dan membangun Mesjid di wilayah terpencil seperti di Sanggalangi. Dompet Dhuafa merupakan jembatan masyarakat untuk saling membantu ummat walau berjauhan bahkan berbeda propinsi, salut!
BalasHapus