septiayu

My Dream



Pesona Mimpi
            Saya bermimpi, berada pada puncak tertinggi dalam perjalanan hidup saya. Merangkai keindahan dalam untaian kata. Memperjuangkan apa-apa yang patut saya dapatkan. Menebar kebaikan, menyiram kedamaian, menghidupkan nadi kesetaraan dalam banyak hal.
            Saya bermimpi, mendakai puncak tantangan. Melompati tiap petak kesukaran. Merambati kemenangan. Memainkan melodi indah kehidupan. Dan bersiul mengejek kecongakan.
            Saya bermimpi, melukis kejayaan. Mewarnai kepedihan, mengolok-olok pesimistis. Mengunci mati  kalimat sarkatis, menggantinya dengan ungkapan puitis. Menawarkan kesenangan. Mendelegasika kesadaran, dan mendamba kesempurnaan.
            Saya bermimpi, menguatkan rantai kehidupan. Mengikat musibah dengan kesabaran. Memukul mundur kebodohan. Menenggelamkan kepicikan. Mengeposkan kedamaian. Menghadiahkan keramahan. Menggores kenangan. Melecut keberanian hingga pada puncak tertinggi tantangan.

            Semua itu baru sekedar mimpi. Belum ada titik terang untuk mencapainya. Belum ada kejelasan untuk mencapainya. Tapi setidaknya saya masih punya itu semua. Ya, mimpi-mimpi itu masih saya miliki. Ia telah bersemayam lama dalam diri ini.
            Mimpi. Itulah yang saya butuhkan hari ini, esok, lusa, dan masa mendatang. Tanpa mimpi orang seperti saya akan mati. Tercebur di samudera ketakutan. Terkubur dalam lubang kekalutan. Dan berlumuran ketidak percayaan.
            Bagi saya, mimpi adalah rangkaian kehidupan yang harus saya genggam. Orang seperti saya akan musnah tanpa adanya mimpi. Mimpi dan harapan itu saling bersinergi, merangkai sebuah semangat yang tak pernah mati. Semanagat bertahan sekokoh karang, meski di gulung ombak kesabaran. Semangat untuk tidak menyerah, semangat untuk kerja hebat, dan semangat agar tak pernah mndahului nasib.
            Mendahului nasib. Ituah kata kunci atas setiap pertanyaan agar seseorang dapat terus bertahan. Orang-orang pesimistis adalah mereka yang mendahului nasib. Meski tak tahu akan seperti apa diri ini nanti. Meski tak dapat menebak apakah usai mengantongi ijazah sarjana nasib baik akan datang menjemput. Tapi setidaknya di sini, di titik ini, di tempat ini, di bangku kuliah ini, saya tidak akan pernah mendahului nasib. Tidak akan pernag mendahuluinya.
            Ada banyak konsep kehidupan telah saya petakan. Meski hingga hari ini yang terlihat justeru seolah saya mempetak-petakan hidup saya. Satu petak kecil untuk hal ini, lebih kecil lagi untuk hal itu, dan sepetak besar untuk hal yang lain.
            Mimpi itu telah ada. Walaupun ada satu hal yang masih mengganjal, saya belum dapat menarik benang merah jalur-jalur mimpi saya. Beberapa hal masih mengambang. Bahkan menggantung di tempatnya tanpa ada perubahan signifikan. Orang lain mengatakan “berproses”.
            Semua ini tengah berproses, dan tiap orang akan menjalani proses yang berbeda. Ada yang berjalan cepat dalam meraih mimpinya. Ada pula yang berjalan lambat. Tak selamanya orang yang berjalan lambat lebih buruk dari orang yang berjalan cepat. Bisa jadi, saat proses itu ia belajar banyak hal, melihat kesuksesan orang-orang yang berjalan cepat. Dan dapat menimbang mana yang jauh lebih baik untuknya. “Dream High.”
            Hari ini saya tengah mengenang kembali mimpi saya dahulu, yang satu per satu telah terwujud. Dengan mengenangnya membuat saya percaya bahwa Allah selalu memperhatikan kita. Mendengarkan tiap teriakan mimpi-mimpi kita. Menghadiahkan pada para pemberani itu buah paling manis dari bermimpi. Meski jalan yang di lalui tak selamanya mudah, dan tak akan terlampau sulit. “Kau tahu? Buah paling manis dari berani bermimpi adalah kejadian-kejadian menakjubkan dalam perjalanan menggapainya.” Andrea Hirata.
            Saya, selalu terkesima menyaksikan begitu banyak orang hebat di dunia ini, yang lahir dari sebuah mimpi besar. Mereka berhasil memecahkan cangkang keraguan. Pesimistis mereka lenyapkan dengan senyawa baru berupa semangat. Semangat, selalu mereka pompa hingga menggelembung sebesar gajah. Saya belajar banyak dari mereka.
            Mimpi itu saya tulis tiga senti dari mata saya. Agar ketika terbangun saya mendapati mimpi itu benar-benar dekat. Lekat mengikuti saya. Tiap apa yang saya kerjakan adalah sebuah proses untuk mencapai mimpi itu.
            Saya tulis kembali hari ini. Mimpi terbesar saya ialah menerbitkan senyum pada bibir kedua orang tua saya. Mereka bangga atas apa yang saya lakukan. Mereka bahagia atas apa yang saya peroleh. Dan mereka ridlho atas apa yang saya kerjakan.
            Orang tua saya bangga menyaksikan putrinya menjadi penulis terbaik Bangsa ini. Melahirkan karya hebat untuk kemajuan umat yang masih tertinggal. Orang tua saya bahagia mendapati putrinya ini sebagai seorang pendiri Lembaga Kemanusiaan. Berbagi untuk sebuah kebajikan. Orang tua saya ridlho atas putrinya ini. Sang pengelana tangguh, pengembara kehidupan yang kan menemukan kunci-kunci atas setiap mimpi dan harapan.
            Mimpi ini tak lain saya persembahkan untuk keluarga saya. Untuk Ibu-Bapak saya. Orang tua nomor 1 di seluruh dunia. Tanpa mereka saya tidak dapat bermimpi. Tanpa mereka saya tak kan merasakan saripati hidup.

septi ayu azizah
Septi Ayu Azizah penyuka literasi, volunteer dan pendidikan. Penikmat jalan-jajan ini, lahir di Banjarnegara, ber-KTP Jakarta, tinggal di Depok. Menulis bagi Septi adalah mencurahkan asa agar bermanfaat tentunya. Aktivitas Septi sebagai guru, pegiat literasi sekolah, dan tentunya menjadi istri penuh waktu.

Related Posts

There is no other posts in this category.

Posting Komentar