septiayu

Antara Perjalanan

Eminonu, Istanbul.

Kukencangkan syall yang melilit leherku, melebarkan hingga menutupi sebagian mukaku. Berharap ia menghalau dinginnya udara. Tangan mulai kebas, membeku. Memasukkannya ke saku moon tebal. Belum juga musim dingin, bagiku yang tak pernah mendapati musim dingin ternyata ini lebih dingin dari tanah lahirku yang kata orang dataran tertinggi di Jawa tengah.

Belum genap empat hari angin membawa aku ke tempat yang jauh, yang bisa jadi tak terbayangkan sebelumnya, sedikit banyak memberi rasa lain dalam hidupku. Sebelum dan sesudah ini getir, pahit, asam dirasa menguasai lidah. Tapi yang aku miliki adalah hari ini, detik ini. Hari yang begitu manis. Terlalu manis untuk dilupakan.

Secangkir kecil teh panas sedikit banyak membantu menghangatkan tubuh kebasku, Ferry yang hendak membawaku menyebrangi selat Bosphorus mulai bergerak meninggalkan riak Asia menuju Eropa-pesona Istanbul, Asia-Eropa seolah seperlempar batu. Hari ini akan aku akhiri perjalanan terjauhku menyusuri benua lain yang belum pernah aku injak sebelumnya. Belum juga aku berhenti menarik benang merah perjalananku, mozaik yang pernah aku susun berkeliaran dalam ingatan. Kenangan demi kenangan membuncah bagai film yang diputar berulang-ulang.

Satu per satu, terkenang. Mimpi-mipi itu.

Tahun 2009, kelas Sejarah Kebudayaan Islam, MAN 2 Banjarnegara.
“... Abad 14. Kemunduran kekeisaran Byzantium di Constantinople dan tumbuhnya cikal bakal kekhalifahan Ottoman (Usmaniyah) di Istanbul. Abad 15. Kekhalifahan Ottoman mengambil alih Constantinople, selanjutnya berubah nama menjadi Istanbul. Gereja Kristen Ortodoks terbesar di dunia berubah menjadi masjid. Hagia Shopia...”

Betapa aku akan mengingat hari itu, hari membaca sejarah peradaban Islam dunia dan hari di mana warna sejarah hidupku akan terkenang di sana. betapa aku mengagumi sejarah peradaban islam di Istanbul, Konstantinopel, Islambol, Hagia Shopia-Katredal-Masjid-Museum. Begitu menarik, begitu terkesan, tanpa sadar hati kecilku menjerit, “Wahai Sang Penguasa Raya, bumi ini bumi Mu, sampaikanlah aku padanya.”

Bertahun-tahun mimpi itu tercecer, terbengkalai, terlupakan. Bagaimanalah menginjakkan kaki di bumi Al-Fatih, untuk mencicipi bangku kuliah saja harus menyelami labirin kehidupan yang berliku demi sepotong tiket untuk satu kursi bernama universitas. Bagaimanalah menyelami keindahan Marmara, Eurasia, untuk mencapai satu gelar bernama mahasiswa pun harus tersuruk-suruk mencapainya. Namun kuasa Nya atas setiap takdir hidup satu ciptaan-Nya tak akan pernah luput, tak akan terlupa. Mimpi itu telah tercatat dan jawaban untuk satu harapan itu “Ya”.

Sang Penguasa Kehidupan telah mencatatnya, lima tahun mimpi itu bersemayam. Kesibukan atas sejuta perasaan dan prasangka tanpa sadar membawa aku melupakan potongan mimpi itu. Lantas, disibukan dengan catatan mimpi-mimpi lainnnya yang membuncah. Mimpi-mimpi yang memenuhi setiap ruang, berharap jangkauannya menembus batas dan waktu. Menggugurkan setiap pesimisme yang bertahta, sebagai bukti atas capaian satu harapan.

Berdesakan dengan keterbatasan menjadi menu wajib yang harus kami santap dengan keyakinan. Betapa tidak? Kami acuh tak acuh atas setiap belenggu bernama keterbatasan, kemiskinanan, yang dengan ganas menggerogoti. Kami hanya yakin akan setiap potong harapan yang dihembuskan oleh suatu keyakinan, tekad dan semangat yang tak luruh, kelak melahirkan madu. Manis untuk dikenang.

Potongan harapan itu berhamburan dalam sebuah cerita fiksi dengan harapan ia berevolusi menjadi kenangan dalam catatan sejerah. Fakta. Satu per satu episode kehidupan dinaikan pada layar, menjadi kenyataan tanpa sangsi. Pembatas antara keyakinan dan pesimisme itu sendiri adalah prasangka. Prasangka yang meyakini akan setiap kesempatan dan prasangka lain yang meragukan kesempatan.

peserta ICESS 

24 Oktober 2014, menjadi bukti atas setiap orang berhak atas satu potong harapan atau lebih. Tak peduli betapa terbatasnya ia. Pembuktian atas setiap gunjingan yang dibidik pada kami yang papa. Kantong kami memang kering, tapi yang bersemayam di tempurung kepala kami tak pernah kering untuk memastikan kami tak pernah meninggalkan kesempatan walau sepotong.

Setelah mimpi-mimpi yang tertuang dalam cerita fiksi, kami mengukirkan sejarah berurai fakta. Sejarah hidupku mencatat, di tahun 2009 aku bermimpi menyelami keindahan Eropa, mencium aroma batuan Eropa abad 4 Masehi yang tersusun indah pada bangunan Nyonya besar Hagia Sophia. 2010 fantasiku berkejaran menyebut sebuah nama bandara Internasional Schipol, dalam sebuah fiksi. Di tahun yang sama, Paris menarik pesonanya, Malaysia-Singapore memamerkan diri. Sudut hatiku kembali berbisik, “Wahai Sang Penguasa Raya, bumi ini bumi Mu, sampaikanlah aku padanya.”

Lima tahun sejak mimpi itu bersemayam, bahkan mulai terkelupas terlupakan. Sang Penguasa Raya benar-benar menjawabnya. Menampakkan kuasa Nya tanpa perantara. 24 Oktober 2014, menjadi bukti, bahwa setiap orang berhak atas satu kesempatan atau lebih. Sekali perjalanan aku jumpai mimpi-mimpi yang bersemayam. Sekali perjalanan aku menciut di kaki Nyonya besar Hagia Sophia. Mengagumi keindahan Blue Mosque. Sekali perjalanan, berputar mengelilingi setiap sudut Aeroports de Paris, Kuala Lumpur international Airport, Changi Airport Singapore, dan sama persis dengan fiksi yang pernah aku tulis Schipol Airport Amsterdam.
Hari ini aku berdiri dengan keyakinan kuat, bahwa setiap pinta akan berbalas. Karena kami hanya meminta pada Sang Pemegang Kuasa, bukan pada si penindak kuasa. Maka, keyakinan itu yang kami bangun, bukan keraguan apalagi prasangka.

Prasangka acapkali membelok-belokan kayakinan yang kurang kokoh, bahkan menghancurkan setiap pondasi yang tak tertanam kuat. Maka, kami hanya butuh percaya. Percaya akan kehidupan yang lebih baik. Percaya untuk tidak mendahului nasib.

Kami hanya bisa menerka tentang sebuah harapan. Tapi yang kami genggam adalah satu waktu. Hari ini, detik ini. Maka detik ini kami percaya. Percaya untuk tidak melangkahi nasib yang kami ciptakan sendri. Kami akan meyakini, setiap makhluk berhak atas satu potong harapan, satu makhluk berhak atas satu potong kesempatan.

Maka kata kami pada keterbatasan, tetaplah di sini, bersahabat dengan kami. Kau ada untuk membersamai kami, agar kami berbuat lebih atas pertemanan ini. Dendam tak akan kami ciptakan pada mu. Karena kami akan membuktikan. Pembuktian pada setiap keangkuhan. Lantas, kami sampaikan pada sahabat kami yang bernama keterbatasan, kami tak akan lari, kami akan beriiringan berjalan bersamamu, tapi kau dan aku akan sangat berbeda. Kau tetap terbatas sedang kami melampaui batas tantangan yang kau ciptakan. Dan aku bisikan pada mu, beda kau dan aku hanya sebatas prasangka. Prasangkaku dapat kulampaui kau dengan kuasa keyakinan.
septi ayu azizah
Septi Ayu Azizah penyuka literasi, volunteer dan pendidikan. Penikmat jalan-jajan ini, lahir di Banjarnegara, ber-KTP Jakarta, tinggal di Depok. Menulis bagi Septi adalah mencurahkan asa agar bermanfaat tentunya. Aktivitas Septi sebagai guru, pegiat literasi sekolah, dan tentunya menjadi istri penuh waktu.

Related Posts

Posting Komentar