septiayu

Ta’arufnya Pertemuan-Serial Nikah #4

serial nikah
Pertemuan ini menjadi suatu berarti 
Di kala diri menepi untuk warna-warni hati 
Ruang-ruang jiwa hanya untuk Maha Kuasa 
Syair-syair cinta tercipta karena Dia. 
Kupu-kupu Cinta, Sigma. 
“Mbak, kalau mbak dihadapkan dua pilihan. Pilihan pertama, mimpi yang selama ini mba idamkan ada di depan mba, tinggal selangkah lagi meraihnya, pada saat itu juga ada seorang ikhwan yang datang untuk menggenapkan separuh agama bersama Mbak. Mbak pilih yang mana?” 
“Kalau mbak sih Sep, pilih yang jelas perintahnya.” 
“Maksudnya mbak?”
 
“Menikah itu jelas perintahnya, jelas dasarnya, sedang impian kita? Adakah dasarnya? Ingat baik-baik hadits ini Sep, ‘Jika datang kepada kalian seorang lelaki yang baik agamanya, maka menikahlah. Jika tidak, maka akan terjadi fitnah di muka bumi.’ Fitnahnya bisa macam-macam. Misalnya nih, saudara mbak ada yang pernah menolak seorang lelaki soleh demi mengejar karier. Akhirnya beliau baru menikah 10 tahun setelah penolakan itu. Padahal dalam penantian 10 tahun itu beliau pengen nikah. Bisa jadi juga ikhwan ke dua yang datang agamanya tidak sebaik ikhwan pertama yang ditolak. Dan masih banyak fitnah-fitnah lainnya. 

“Mbak nakut-nakutin aku nih.” 
“Hahaha. Enggaklah, tapi iya juga ding, haha. Jadi gimana? Ada ikhwan yang datang? Lha,
kamu ini bukannya lagi ke Jakarta? Seleksi Indonesia Mengajar kan?” 

Percakapan panjang lewat pesan WA antara aku dan Mbak Norma, seorang yang sudah ku anggap seperti Mbakku sendiri, berpilin menembus melewati rel kereta. Lebih cepat sampainya ketimbang laju kereta dari Semarang-Jakarta. Ah, perjalanan selalu membawa pada perenungan-perenungan panjang. Mengantarkan pada pertemuan akan kesadaran dan pemahaman yang lebih baik katanya. 

20 Februari 2018 
Aku memutuskan untuk melanjutkan mengejar mimpiku. Bertahun-tahun aku menunggu kesempatan ini datang, saat tinggal selangkah dua langkah lagi, aku tak ingin mundur! Jelas aku tak mau mundur. Tapi percakapan dengan Mbak Norma benar-benar menggelisahkan. Belum lagi kakiku menginjakkan Ibu Kota Negara Kesatuan Republik Indonesia tercinta, hatiku mulai bergetar ragu.
“Jika datang kepada kalian seorang lelaki yang kalian
ridhai agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah ia. Jika tidak, maka akan terjadi fitnah di muka bumi dan kerusakan yang besar.” 
(HR. Tirmidzi. Al Albani berkata dalam Adh Dho’ifah bahwa hadits ini hasan lighoirihi) 
“Indonesia Mengajar emang ada perintahnya Sep di Qur’an-Hadits?” 
Begitu tanya Mbak Norma melanjutkan percakapan. Hatiku mulai rusuh oleh berupa tanya. Ah, sudah jelas aku ingin mengabdi untuk negeri, memupuk diri dengan tinggal di tepian negeri. Sudah ku rancang demikian rupa apa saja yang akan ku lakukan dalam pengabdian diri. Akan ku buat sekolah menulis di pelosok negeri sana, murid-muridku akan ku antar sampai kejuaran-kejuaran nasional, sampai nanti aku masuk majalah sebagai 1000 (akehe seribu. Haha) wanita berpengaruh di Indonesia, nah kan top markotop tuh. 

Hati ku yang lain bercicit, Sep Sep, istighfar, dunia mulu nih yang kamu cari. Masa iya tujuanmu kek gitu? Ye kan, dikit lah gak papa. Halah itu bikin nggak ikhlas tahu, trus nanti kamu malah kecewa lagi sama dirimu. Duh Seep, masih aja ya mikirin dunia, sadar woi sadar, prestasi dunia itu cuma efek kalau niatmu-ikhtiarmu udah bener.
“Barang siapa yang menghendaki keuntungan di akhirat akan Kami tambah keuntungan itu baginya dan barang siapa yang menghendaki keuntungan di dunia Kami berikan kepadanya sebagian dari keuntungan dunia dan tidak ada baginya suatu bahagia pun di akhirat.” 
(QS. Asy-Syura: 20)
Betapa perjalanan akhirnya mengubah sudut pandangku. Perjalanan. Selalu ada cerita di balik perjalanan. Bukan melulu cerita tentang aku dan kamu, lebih pada aku yang berbicara pada diriku. Dalam perjalanan, aku suka bercerita pada diri. Membisiki hati tentang segala bentuk ragu, tentang kemungkinan, tentang jawaban yang juga tentang pertanyaan. Di lain waktu mungkin kita suka bercakap satu sama lain. Tetap saja, heningnya hati, menjadi penanda pilihan terbaik.
“Tanyakan kepada hati kecilmu sendiri. Kebajikan adalah apa yang membuat jiwa dan hatimu tenteram, sedangkan dosa adalah apa yang membuat jiwa dan hatimu gelisah meskipun orang lain berulang kali membenarkanmu.” 
(HR Imam Ahmad bin Hambal dan Imam ad-Darimi. Hadits ini hasan.) 
“Orangnya shalih, membina dan terbina, begitu kata Ustadznya.” 
Guru ngajiku telah mengumpulkan informasi tentang dia, memberikan CV (proposal nikah) nya, dan menyebut seluruh info yang didapat, termasuk informasi yang menjadi syarat yang aku ajukan “terbina dan membina”. Setelah istikharah pertama yang tak pernah putus tiap harinya hingga hari itu, aku memutuskan untuk lanjut ke tahap berikutnya. 

“Ta’aruf itu nadzor, melihat. Jadi sangat dibenarkan kalian untuk saling melihat, jadi jangan nunduk.” 
Begitu kalimat pembuka dalam sesi ta’aruf ini. Setelah perkenalan yang sebenarnya sudah tertulis jelas dalam proposal ta’aruf, kami berdiskusi tentang visi misi rumah tangga impian kami. Ini semacam ujian pendadaran proposal, atau semacam sidang skripsi, ah sidang skripsiku bahkan aku tak selebai ini. Mengingat tingkahku sebelum proses ta’aruf yang sungguh drama, dimulai dengan bolak-balik WC, keringat dingin yang bercucuran, sampai episode ngumpet di balik tirai rumah ustadzahku saat dia datang. Kalau tak diminta keluar, mungkin aku memilih tetap berdiri di balik tirai sampai proses ini selesai. 

“Sep, ada nggak jawaban yang lebih panjang dari ‘insyaAllah iya’, ini kan butuh pandangan Septi, jadi jawabannya yang lebih panjang dong.” 
Sontak seisi ruangan itu tertawa dengan kalimat suami ustadzahku yang turut memfasilitasi proses ta’aruf kami. Aku sudah menyusunnya jauh-jauh hari. Mendaftar semua kekuranganku yang akan ku sebutkan kala kami dipertemukan di rumah guru ngajiku. Tapi apa dayaku, semua terbenam. Rasa malu, grogi, kikuk, luruh. Kepercayaandiriku berdebam runtuh. Padahal aku telah membayang sebuah diskusi yang akan membuatnya mundur. Nahas, kepalaku pun tak mampu terangkat. Menunduk. Seolah ada magnet di karpet tempatku duduk, mataku tak lepas memandangi karpet yang jelas-jelas kosong. Bagaimana ku menyebutkannya, sedang bibirku kelu. Tak ada kata lain yang terucap selain ‘iya’. Batinku menyumpahi diri yang sungguh cupu. Ah, terlalu. Aku tak kan melupa peristiwa itu. seumur hidupku, baru kali itu gentar sekali tubuhku. 

Beberapa kesepakatan kami capai dalam proses ini. Target pun kami buat. Lega sekali rasanya saat ia pergi, meski ada yang mengganjal hati. Tentang hari pernikahan yang sepertinya akan membuahkan penantian. Tentang keluargaku yang entah bisa menerimanya atau justru sebaliknya. Tentang aku yang telah melepaskan mimpiku. Tentang aku yang selalu berkata, “Aku belum siap menikah.”
septi ayu azizah
Septi Ayu Azizah penyuka literasi, volunteer dan pendidikan. Penikmat jalan-jajan ini, lahir di Banjarnegara, ber-KTP Jakarta, tinggal di Depok. Menulis bagi Septi adalah mencurahkan asa agar bermanfaat tentunya. Aktivitas Septi sebagai guru, pegiat literasi sekolah, dan tentunya menjadi istri penuh waktu.

Related Posts

2 komentar

Posting Komentar