septiayu

Muka Banjarnegara-Serial Tentang Banjarnegara #1


Gaiisss, masih inget sama pidatonya Bapak Prabowo yang calon Presiden itu di Boyolali? Menyebut-nyebut Muka Boyolali, tampang Boyolali. Tahu nggak tahu nggak? Nggak tahu? Udah lupa? Yowes ben, lagian akunya udah telat banget, pidato kapan dibahas kapan, kudet sekali. Baiqlah yang berlalu biarlah berlalu, mari kita buka lembaran baru. Jadi ges, aye nggak mau bahas pidatonya si Bapak calon presiden itu, seterah ncang ncing nyak babe mau koment apa dah, udah gede gini to. Cuma mau ngomongin keresahan hati (iye iye, blog ini isinya cuma curahan hati elu kan Sep kan kan) sebagai warga aseli Banjarnegara dengan muka ngapak terendus bau ngapaknya dari jarak seribu tahun cahaya (duplak duplak josh).
pict by: RooftProject IND
Gaiis yang budiman dan budiwati, yang tidak berbudi masih boleh bergabung (beragus, bersepti, berdesi). Apa yang terlintas dipikiran kalian jika disebut “Banjarnegara”?? Apaa? Apaa? Udah jujur aja. Kalian pasti ketawa kan kan kaan... Aiish... Semasa awal-awal kuliah aku suka heran, kenapa setiap kali aku menyebut “Banjarnegara” seperenam, sepertiga, sepertengah, bahkan semua orang dalam forum akan meledak tertawa sambil diiringi kalimat, “Bapake, inyong kencooot.” Etdaah, kenapa sih ketawa? Harus banget ketawa ya? Awal-awal eike rada sensi gitu, sebel aja kalau diketawain,
ya meski sebelnya nggak ditunjukin, paling cuma kumur-kumur senyum pake kuah pop mie.
Orang Banjar lucu ya? Menghibur kah? Membahagiakan kah? Jawabnya: Iya! (harus banget dibold italic underline). Buktinya hadirnya saja sudah mempesona, ditambah lagi kalau sudah mulai meluncur sepatah dua patah kata, ditambah goyang patah-patah lidah khas bumi ngapak, dijamin semua orang ngguyu gemuyu bahagia. Baiqlah, saya mulai terbiasa dengan macam-macam respon orang saat mendengar “Banjarnegara”, seperti mencoba tersenyum dikulum-kulum saat mendengar respon temen-temen semasa kuliah, dan juga respon Mas Bojo di masa-masa awal pernikahan yang harum bersemi bak melati di taman Turi. Kata mereka, “cewek-cewek Banjarnegara tuh cakep-cakep yaah” sampai di sini bikin hati kembang kempis, pipi merona bahagia, waiiit, kalimat belum jua usai, “tapi, kalau sudah ngomong, berguguran semua kecantikannya. Ngapak! Wakakakak” bisa dipastikan yang ngomong gitu ngakak guling-guling sambil sikap lilin. Rasanya aku mau copot sepatu timpuk di mukanya, tapi kalau Mas Bojo yang bilang langsung ditinggal lari ke kamar mandi terus dikejar sambil sahut menyahut macam adegan film Bollywood, digenggam jarinya biar yahud, ooh Fergusoo.
Apa yang kalian tahu dari Banjarnegara? Kali ini nanya beneran.
Baiqlah, inilah Banjarnegara, UMK terendah di Jawa Tengah (masih terendah kan kan kan?), 70% wilayah resiko longsor, cukup-cukup, menyebutkan dua kalimat itu saja sesak rasanya. Apalagi ditambah dengan bumbu-bumbu lainnya yang bikin berjatuhan air mata. #drama. Dua kalimat itu cukup sudah menyajikan gambaran muka Banjarnegara.
Kalian tahu Dawet Ayu Banjarnegara? Iya, minuman khas dari Banjarnegara itu, iconnya Banjarnegara. Ada berapa bakul (penjual) Dawet Ayu di tempat mu tinggal? Merekalah orang Banjarnegara. Rasa-rasanya ingin menghembuskan nafas berkali-kali setiap mengingat, semua penjual dawet ayu itu orang Banjar, tukang parkir dari Banjarnegara, setiap pedagang kaki lima yang mangkal di depan Politeknik Negeri Semarang (anak Polines sama Undip pasti tahu) mereka orang Banjarnegara, penjual Bakso Malang (judulnya bakso Malang padahal ya), mereka tampang Banjarnegara. Nggak percaya? Perhatikan Plat Motor mereka.
Plat motor loh ya, bukan mukanya. Aku suka memperhatikan seri huruf awal dan akhir plat motor. Kebiasaan dari kecil, gegara pas SD ada soal tentang Plat motor, akhirnya kebawa deh, kalau ada kendaraan lewat dengan Plat asing selalu tanya Bapake. Kebiasaan ini berlanjut smapai hari ini. Mulanya iseng-iseng tiap kali jajan Bakso Malang godain Mamangnya (dasar wanita penggoda. Tolong maafkan aku wahai lelaki yang kelak menjadi suamiku, aku tak seshalihah yang kau bayangkan. Fergusoo, kau sudah menikah sep. Oke skip).
“Mang, Baksonya asli Malang?” Tanyaku dengan nada menyelidik penuh intimidasi, wkwkwk.
“Asli mbak” jawab Mamangnya santai.
“Bohong, njenengan Banjarnegara kan?”
“Lha, kok tahu Mbak?” ngelap kringet.
“Tahu dong, saya kuliah jurusan intel Pak.” Sapaan dari Mang berubah menjadi Pak.
“Mana ada jurusan intel Mbak, hehe” nyengir sambil lap keringet. Semarang Panas buuk, jadi banyak adegan lap lap keringet.
“Itu Platnya R”
“Hehe (sambil nyengir kuda, btw kenapa sih kuda suka nyengir?-nanya serius). Iya Mbak, tapi ini baksonya asli Malang kok Mbak, ambil dari juragan.”
“Sudah lama jualan di sini Pak?”
Biasanya obrolan akan berlanjut berseri-seri, berjam-jam, besoknya lagi ketemu lagi sama abang tukang bakso mari-mari sini saya mau beli, ngobrol lagi. Begitu juga kalau ketemu sama tukang parkir, abang penjual cilok, cimol, cireng, siomay, lutis, tahu bulat digoreng dadakan enak, sotong, sempol, degan, dagelan, eh. Bukan, bukan aku yang mengenali mereka, tapi mereka yang mengenaliku dari Plat motorku. Biasanya kami akan ngobrol ngalor ngidul ngetan ngulon, ada yang bercerita anak-anaknya yang juga kuliah di Undip, “Menejemen FEB Mbak, Bidikmisi” begitu cerita Bapak tukang parkir Sirojudin. “Sepuluh tahun di sini mbak, itu sederetan orang Banjar semua Mbak” kata si Bapak rujak buah depan Polines sambil memanggil teman-temannya, “Iki Mbake wong Banjar”. Duuuh, saya berasa jadi artis dikelilingi mamang-mamang penjual jajanan. Sambil tebar senyum manis semanis gula-gula seramah mungkin, berharap besok jajan dapet bonus segrobaknya-gubraaak.
Loh Mbak, Mbak rewang saya juga dari Banjarnegara.” Untuk kesekian kalinya tersenyum manis saat bertemu Buibu Tajir Perum Graha Estetika saat menyebut Banjarnegara, diiringi salim salam sama Mbak-mbak rewangnya. Trus mbak rewangnya minta nomer Hape, trus dikenalin sama temen-temen sesama pembokat di perum itu, terus besoknya aku diinvite di group WA para pembokat perum Graha. Omegat, eike jadi kepikiran buat jadi mucikari, astaghfirulloh...tobat tobat... maksudnya jadi emak-emak penyalur tenaga kerja bersertifikat, sertifikat seminar training leadership, ups.
Apa yang kalian lihat dari Banjarnegara? Tingkat pendidikan bablas? Pendapatan perkapita terjun bebas? Tanah-tanah berjalan bebes (longsor di mana-mana maksudnya). Itulah tampang Banjarnegara. Aiish... dihujat habis ini kamu sep nulis beginian. Mbokyo nulis yang bagus-bagusnya. Ituloh, pesona wisatanya yang warbiyasyah, keindahan alamnya yang bikin takjub tiada henti, kulinrnya yang goyang lidah. Hemm.. yang itu mah udah tahu semua kan yak? Iya kan? Dieng yang indah itu Banjarnegara punya. Rafting Serayu yang dahsyat. Air terjun di mana-mana. Aaahh.. itu sih bagian-bagian yang warbiyasyah dari Banjarnegara, yang selalu ngangenin. Macam kamu kalau jauh-jauh dari aku, kangen kan kan kan, kangen denger aku ngomong ngapak, yang kalau marah-marah malah bikin kamu ketawa. Hei! Kamu iya kamu, malah mesam mesem.
Terlepas dari betapa oh betapa Banjarnegara yang sebagai pemasok buruh, pembokat, pejuang devisa (coy, oppa gue juga pejuang devisa coy), aku selalu salut dengan teman-teman yang dengan tangan-tangan ajaibnya berkreasi menghidupi Banjarnegara. Seperti para sahabat yang menjadi pejabat di desanya, menghidupi desanya biar lebih njamani, macam desa-desa di kota (desa apa kota, hayoo). Seperti para sahabat yang menghidupi Banjarnegara dengan berupa-rupa event yang semarak. Seperti para sahabat yang terus berjuang mencerdaskan kehidupan warga Banjaregara. Seprti para sahabat yang memilih bali ndeso mbangun ndeso, merelakan iming-iming kehidupan kota yang menawarkan kemapanan dan keberadaan (maksudnya serba ada gitu.. mall, biuskup, kuliner kekininan, dll). Mereka menggadaikan masa mudanya untuk berjuang membangun tanah lahirnya. Tapi mereka menggadaikan dengan kebahagiaan.  Aiish, sampai di sini nyong pengen balik banjar.
“Sep, kapan kamu balik Banjar?” Katanya berulang kali, terngiang di sudut hati. Aku? Aku tak ke mana-mana, karena Banjarnegara selalu di hati. Ecieeeh...
Begitu gaiis curahan hati soal tempat aku berasal, Banjarnegara sing wisshuwur dawet lan apeme, jaman saiki sansoyo rame, Banjarnegara kondang hasil salake. Ini lirik lagu, tapi aku lupa-lupa ingat liriknya. Seberapa bangga kita dengan tanah kelahiran kita? Aah, aku jadi malu, malu karena aku pernah merasa malu menjadi warga Banjar yang ditertawakan. Aaah, sudah saatnya menjadi warga Banjarnegara yang mendunia. Macam Dr. Tus itu, aiiih ngefans betul dengan beliau. Warga Banjarnegara yang mendunia. Berharap, berharap tulisan ada yang dibaca sama Dr. Tus trus besoknya diundang ke Polibara, trus dibilang “Selamat anda diterima tanpa syarat bekerja di sini.” Ooh fergusooo, ngimpi tengah malem, malem jumat kliwon sisan. Sudah sudah, jadi ke mana-mana kan, kita cukupkan dulu yes. Nanti-nanti lagi cuap-cuapnya. Sampai di sini sudah kebayang Muka Banjarnegara?
Dari sini saya mengajak seluruh warga Banjarnegara untuk berbahagia dengan bahasa yang satu yaitu bahasa Ngapak. Mari bersama menjadi warga Banjarnegara yang Mendunia.
See you gaiis...
Ora Ngapak Ora Kepenak!!
Nantikan seri berikutnyaah J J J
Semarang, 04 Desember 2018.
23: 09: 30 WIB.

septi ayu azizah
Septi Ayu Azizah penyuka literasi, volunteer dan pendidikan. Penikmat jalan-jajan ini, lahir di Banjarnegara, ber-KTP Jakarta, tinggal di Depok. Menulis bagi Septi adalah mencurahkan asa agar bermanfaat tentunya. Aktivitas Septi sebagai guru, pegiat literasi sekolah, dan tentunya menjadi istri penuh waktu.

Related Posts

Posting Komentar