septiayu

Menghitung yang Tak Mudah di Hitung

Menghitung yang tak mudah dihitung.
Kami mulai lupa cara merangkai kata indah syarat makna tentang arti perjuangan. Lupa akan tata baku kesyukuran atas setiap petak kasih yang Ia tebar lewat udara yang tiap detik bergerak. Apalagi soal pedoman pokok kerja keras. Semangat kami mulai luntur diguyur air asin yang keluar dari pori-pori kulit kami. Bah, peduli benar kami tentang pantang menyerah nyatanya liur kami mulai getir berkat disimpan tanpa umpatan.

Mengukur yang tak mudah diukur.

Cukup, cukup bagi kami untuk berdiam diri sejenak. Merasakan sari pati hidup yang mulai tawar. Bukan karena sepi tantangan, melainkan desakan-desakan akan cita dan cinta yang diam-diam kami tolak atau kami kubur lebih dalam. Sengaja betul kami menyiapkan lubang kematian untuk sepotong demi sepotong harapan yang tak lagi memiliki ruh. Menguburnya lantas melupakannya, meski sepotong hati kami yang lain penuh sesak menangisinya.

Menimbang yang tak mudah ditimbang.
Paradoks kehidupan mulai menyapa kami dengan rupa menyeramkan, seolah ingin menakuti kami tentang cerita kegagalan yang ia bawa dari tanah sebrang. Lakukan saja semaumu, kata kami kemudian, sebab bagi kami semua ini sudah menjadi paradoks yang patut kami sadari. Kami tak kan lari, karena lari hanya membuat kami jatuh dan terluka. Cukuplah bagi kami untuk menyadari lantas menghadapinya.

Menakar yang tak mudah ditakar.
Bah, semua dihadapi seolah mata ini lebih dari dua, tangan ini lebih dari sepasang, kaki ini lebih kuat dari besi. Nasihat seorang yang bijak sekalipun bagai air bah yang mengguyur pertahanan kami, seorang bijak berpesan pada kami “Imunitasnya itu dengan disuntik bakteri” mudah saja kami menjawab, nampaknya akan ada dua kemungkinan, kemungkinan kami sembuh atau bakteri itu membunuh kami.

Menilai yang tak mudah dinilai
Kami, kami terlalu naif untuk menyadarinya. Dalam batas pandang kami dipenuhi lumpur mimpi dan cita yang pada kenyataannya kami tak pernah bisa memilih, atau lebih tepatnya tidak memiliki kesempatan untuk memilih. Faktanya tidak ada pilihan itu sendiri adalah pilihan yang harus kami hadapi. Lantas, kami berjalan di atas pilihan kami. Tak peduli ia kan mengntar kami ke arah mana.

Ukuran sama dengan sama.
Kepercayaan kami seolah tanpa tanda batas. Yah, kami dibekali itu untuk menatap jalan yang mesti kami lewati, tak peduli sempitnya jalan itu, tak peduli ia berkelok, menanjak, menurun, terjal atau bahkan biasa-biasa saja. Hanya saja, ia tak pernah seringkas pandang kami.

Kami hanya butuh waktu sekejap, berdiam sejenak di rumah Mu.
Berharap setiap Kasih Sayang Mu memeluk mimpi kami.
Karena setiap kesyukuran tak bisa ditakar dengan ukuran.
Masjid Kampus Undip, 15 Mei 2014


septi ayu azizah
Septi Ayu Azizah penyuka literasi, volunteer dan pendidikan. Penikmat jalan-jajan ini, lahir di Banjarnegara, ber-KTP Jakarta, tinggal di Depok. Menulis bagi Septi adalah mencurahkan asa agar bermanfaat tentunya. Aktivitas Septi sebagai guru, pegiat literasi sekolah, dan tentunya menjadi istri penuh waktu.

Related Posts

Posting Komentar