septiayu

Cerpen Inspirasi; Melayang


cerita inspirasi

Cerpen inspirasi dengan judul Melayang, merupakan sebuah cerita fiktif yang saya tulis pasca lulus SMA. Masa-masa awal lulus SMA merupakan masa yang cukup berat bagi saya, karena harus berhadapan dengan kenyataan belum bisa melanjutkan kuliah. Segala rasa sedih dan kecewa saya tuliskan dalam bentuk cerpen. 

Cerpen Melayang adalah karya kedua saya setelah cerpen Beasiswa. Cerpen Beasiswa berhasil membawa saya menjuarai Lomba Menulis Cerpen di Banjarnegara dan mendapat Piala Wakil Bupati. Sedang untuk cerpen Melayang, ini kali pertama saya publish sejak ditulis 2011 silam. 

Saya merasakan keajaiban Kuasa Sang Pemilik Kehidupan setelah menulis cerpen Beasiswa dan Melayang. Tahun 2010 saya menulis cerpen Beasiswa, dua tahun kemudian saya mendapat beasiswa kuliah di salah satu universitas terbaik. Tahun 2011 saya menulis cerpen Melayang, dengan mimpi seorang anak yang ingin ke Amsterdam, atas izin-Nya tahun 2014 Sang Penindak Kuasa benar-benar mengantar saya ke Bandara Schipol, Amsterdam, persis dengan cerita yang saya tulis, padahal mulanya hanya iseng memilih bandara tersebut dalam cerita ini. 

Begitulah Kuasa-Nya mengabulkan setiap mimpi dan harapan setelah perjuangan yang panjang. Sejak saat itu, saya menjadi suka menuliskan mimpi dan cita-cita saya dalam bentuk cerita. Oke Sob, selamat menikmati cerpen ini. 

muslim quote

Melayang


"Dang, ding, dung. Pesawat Air Bus 3322, dengan tujuan Bandara Internasional Schipol, Amsterdam segera lepas landas. Diharapkan seluruh penumpang telah berada di dalam pesawat.” 

Bandara Internasional ini begitu ramai. Bising dang ding dung pengumuman diantara sesaknya 'lobi perpisahan', seketika menyadarkanku dari tidur panjang. Hari ini aku akan segera menjemput mimpi-mimpiku. Wahai Sang Penguasa Mimpi, tunggu aku, aku akan segera menjemput takdir hidupku. 

Tiga menit dari pengumuman tadi, aku bergegas menuju landasan pacu bandara. Di depan pintu boarding kutengok ke belakang, untuk terakhir kali aku pandangi wajah-wajah yang kan selalu kurindu. Belum lagi aku berpisah, aku telah merasa kehilangan. 

Kulihat kakakku melambai, penuh semangat, tak terdengar betul teriakannya yang berbaur dengan bising lalu lalang manusia. Kakakku diapit oleh dua orang yang terlihat amat lelah. 

Seorang wanita tua di samping kanan kakakku. Berkali-kali mengusap air yang terus menetes dari matanya. Ia tersenyum dengan mulut berbisik. Mungkin Ia membisikan doa-doa untukku. Baru kali ini kulihat raut wajah yang tak dapat kujelaskan, dari seorang pria tua yang berdiri di sebelah kiri kakakku. Wajahnya tirus, mengesankan tak sedikit cobaan yang telah ia lalui. Namun, kali ini ia bahagia sekaligus sendu. 

Tak dapat berlama-lama kupandangi wajah mereka. Aku harus bergegas, sebelum mimpi itu pergi meninggalkanku. 

*** 

"Kepada seluruh penumpang, kami akan menjelaskan standar keamanan pesawat-" 

Di depan, suara merdu pramugari menyapa penumpang, ia memeragakan pemakaian sabuk pengaman yang aku ikuti dengan seksama. Meski sebenarnya aku tak dapat berkonsentrasi. Ada sesuatu lembut menusuk sukma, membuatku sedikit cemas. 

"Pesawat segera lepas landas." 

Kalimat terakhir pramugari itu membuatku semakin tegang. 

Perlahan pesawat berputar menuju runaway, menderu, menukik lepas landas, menuju langit membiru. 

"Huh. . . " 

Aku menghembuskan nafas, sembari membuka mata. Demi melihat gumpalan awan biru yang terlihat amat memesona kegundahan itu menguap begitu saja. 

"Akhirnya aku dapat terbang. Membelah langit yang tak kan pernah habis." pekikku dalam hati. 

"Baru pertama kali naik pesawat ya mbak?" 

Terdengar suara disampingku. Ah, kenapa aku tak sadar benar ada seseorang disebelahku. Ketegangan tadi telah mengacaukan irama hidupku. Untungnya tak membuat jarum kesadaranku berhenti. 

"Ehem. . ." 

Suara itu kembali memecah sunyi. Orang itu menuntut jawaban atas pertanyaannya. Pasti! 

"Eh, maaf, tadi tanya apa ya?" tanyaku bodoh tak acuh atas pertanyaannya tadi. 

Aku merasa sedikit janggal. Setelah belasan menit aku terdiam, aku merasa suara pertamaku tadi terdengar sumbang. Aku gugup. Orang disebelahku terkekeh. Pasti ia ingin tertawa melihat tampngku yang amat menyedihkan ini. 

"Sudahlah lupakan saja." Kembali terkekeh. 

"Semua orang yang melihatku pasti dapat membaca tampangku yang telah menjelaskan bahwa aku, orang super udik yang baru pertama kali naik pesawat. Apa perlu aku buatkan tulisan besar-besar agar semua orang tahu, aku, Yeni Setiarini anak kampung, baru pertama kali naik benda yang dapat meliuk-liuk di samudra cakrawala luas." gerutuku dalam hati. 

"Wajahmu terlihat memerah." Orang disampingku kembali bersuara. Tak lagi terkekeh digantikan senyum yang mengembang dibibirnya. 

"Namaku Rizal, kau sendiri, siapa namamu?" 

"Aku, Yeni." Jawabku singkat. 

Suaraku masih terdengar bergetar. Aduh, kenapa aku gugup? bukankah ini perkenalan yang mudah? Beberapa waktu lalu bahkan dengan lantang dapat aku jelaskan identitasku di depan Bupati dan Pejabat kabupaten lainnya, yang membutku kini terdampar di benda ini. 

"Oh, Yeni mau ke Belanda? Ah, bodoh sekali, semua orang disini juga akan kesana. Bukankah pesawat ini hanya mendarat di bandara Schipol. Maksudku, kalau boleh tahu kau akan berkunjung ke mana?" 

"Leiden University, melanjutkan study." 

"Wah hebat, dapat beasiswa ya?" 

"Iya, saya dapat beasiswa dari pemerintah kota. Kak Rizal sendiri ke Belanda untuk apa?" 

"Pertukaran mahasiswa. Aku bersama seorang temanku akan mengikuti pertukaran mahasiswa. Oh ya, kita satu universitas." 

"Oh, kak Rizal juga di Leiden University?" 

"Ya, dan itu temanku. Zaki namanya." 

Terang Rizal sambil menunjuk orang yang duduk di seberang kami. 

"Selamat siang tuan-nona, apakah anda membutuhkan secangkir kopi?" 

Terdengar suara pramugari yang lembut menyapa. Menghentikan percakapan kami. 

"Tidak, terima kasih. Mungkin nona ini mau?" Jawab Rizal sembari melirik kearahku. 

Aku menoleh ke arah pramugari, yang membuatku sempurna dapat melihat wajah seseorang yang duduk disebelahku. Senyum manisnya mengembang. Wajahnya terlihat putih bersih. 

"Bagaimana nona, anda membutuhkan secangkir kopi?" 

Pramugari kembali dengan penawarannya. Memutus lamunanku dari memandangi Rizal. 

"Em, saya tidak suka kopi," jawabku lugu. 

"Mungkin anda suka teh hangat?" 

Sahut pramugari sambil mengambil sesuatu di atas meja dorong, dan memberikannya padaku. 

"Ya, terimakasih." 

Aku terima secangkir teh hangat itu. Pramugari pun pergi dengan senyum yang tak pernah luntur dari bibir manisnya. Kuhirup aroma teh hangat ini. Aromanya begitu menenangkan, segera menghapus kegalauan hatiku. 

Aku layangkan pandangan ke jendela. Awan putih bagaikan samudra luas, indah membentang. Dapat aku saksikan tiga orang yang amat kucinta berdiri di sana, tersenyum padaku. Ah, wajah itu. Selalu terlihat indah bagiku. Ini akan menjadi perjalanan terhebat. Namun kemudian aku tertidur. 

*** 
"Aw. . . . !" 

"Oh my God. . . !" 

"Allahu Akbar. . . . !" 

Terdengar teriakan yang membangunkanku. Entah berapa lama aku tertidur. Aku rasa belum lama. Aku baru saja bermimpi, bermain mengejar layang-layang dengan kakakku di taman luas yang indah. 

Aku berusaha mengumpulkan kesadaran yang terasa belum penuh, belum mengerti benar apa yang tengah terjadi. 

Teriakan penumpang masih membahana, hingga beberapa saat kemudian. Tak ada pramugari yang menenangkan. Semua penghuni pesawat pasti merasakan ketegangan yang nyata. Aku menoleh ke samping. Seorang disampingku memejamkan mata dengan mulut bergumam. 

Beberapa saat ketegangan mulai sedikit mencair. Digantikan bisik-bisik, bagaikan dengung lebah. Rizal membuka matanya. 

"Apa yang terjadi?" bisikku kemudian. 

"Entahlah, pasti ada yang tak beres dengan pesawat ini. Kau rasakan tadi Yen, pesawat berguncang hebat." 

"Apakah Schipol masih jauh? Akankah kita dapat sampai kesana?" 

"Aku rasa kita belum lama terbang. Berdoa saja agar kita dapat selamat." 

Akhirnya kami memilih diam. Tak ada lagi bisik-bisik. Sepertinya pesawat telah kembali melayang dengan normal. Ku pejamkan mata, mencoba menenengkan diri. Bayangan tiga orang yang paling kukasihi kembali hadir. Aku tak lagi mengenali seraut wajah mereka. 

Dugaanku salah. Kali ini pesawat kembali berguncang, bahkan lebih keras dibandingkan tadi. Aku kembali tegang. Tak lagi kudengar teriakan penumpang. Bahkan aku tak sadar kalau kursi disebelahku telah kosong. Tak kuasa aku bayangkan apa yang akan terjadi padaku. 

Guncangan tak kunjung usai. Pesawat mulai hilang kendali. 

Tubuhku bergetar hebat. Beberapa waktu lalu masih dapat kuhirup secangkir teh hangat dengan aroma menenangkan. Kunikmati kesuksesanku yang dapat duduk tenang di atas kursi yang dapat terbang ini. Sekarang dapat kuhirup sensasi ketegangan yang menyelimuti lagit-langit pesawat. Aku rasakan leherku tercekik. Sesak, sesak sekali, hingga tak dapat kuhirup udaran segar. Yang tercium olehku hanyalah aroma kematian. 

"Apakah hidupku berakhir di benda ini?" jeritku dalam hati 

*** 

"Pakai ini!" 

Aku pandangi lelaki yang berdiri disampingku. 

"Cepat pakai ini! kita tak punya banyak waktu!" 

Aku masih diam di tempat dudukku. Tak ada yang dapat kuperbuat. Lelaki itu mendengus dan memakaikan benda itu di tubuhku. 

"Rompi pelampung? untuk apa benda ini? Bukankah aku tengah terbang bukan berenang?" bisikku dalam hati. 

Lelaki itu menarik tanganku dengan kasar. Pesawat masih dengan guncangannya yang menghebat. Aku terjatuh, lelaki itu kembali menarik tanganku lebih kencang. Aku kembali berjalan mengikutinya. Mataku menangkap wajah-wajah penumpang yang ketakutan. Anak-anak yang menangis. Teriakan-teriakan yang tak lagi sepenuhnya dapat kudengar. 

Lelaki ini membawaku hingga pintu pesawat. Rizal telah berdiri di depan pintu. Berusaha menekan-nekan tombol. 

"Cepat buka pintu itu Rizal! Pesawat ini sudah gila!" 

Lelaki disampingku meneriaki Rizal yang justeru membuat pesawat berguncang sangat hebat. Kami terjungkal, kurasakan pesawat meluncur. 

"Cepat buka Zal!" 

"Sial! susah sekali!" 

"Kita tak punya waktu lagi!" 

"Aku tak bisa membuka ini Zaki!" 

Lelaki yang dipanggil Zaki itu maju kedepan. Tak sabar, menendang kuat tombol-tombol pintu. Pintu terbuka, angin kencang menyeret tubuh kami. 

Tubuhku terhempas. Bersatu menembus awan. melewati hamparan langit luas. Ringan, dimainkan angin. Aku melayang. Bersama terik yang membayang. Berpadu melawan deru udara. 

"BUM. . . !" 

Terdengar dentuman amat kencang. 

Aku masih melayang, "Pyar." 

*** 

Tubuhku terguncang dihempas ombak. Air, di mana-mana air. Kutemukan diriku terseret gelombang air. Banyak sekali air di sini. Apa ini laut? Bukankah semestinya aku terbang, bukan berenang? Lagi pula aku tak bisa berenang. 

Laut, sejauh mata memandang hanya air yang beriak-riak. Tak ada daratan tempat berlabuh. Entah berapa lama aku terapung, meminum begitu banyak air, kesadaranku timbul tenggelam, takdir hidupku mengambang bersama gelombang. 

Setelah matahari benar-benar tumbang. Seseorang memegang tanganku, entah siapa, aku tak tahu, mungkinkah malaikat maut datang? 

“Bertahanlah, aku mohon bertahanlah Yen!” 

“Angkat mereka, cepat!” 

“Oh, tidak! Berapa jam mereka di sini?” 

“Cepat, cepat, selimuti mereka! Bertahanlah, terima kasih Tuhan.” 

Aku tak lagi mendengar teriakan-teriakan itu. Dapat kurasakan semuanya berubah menjadi gelap. Tiga orang yang paling berharga dalam hidupku tiba-tiba muncul. Bukan kehangatan yang mereka bawa, melainkan tangis pilu yang mereka hadirkan. 

*** 

Besoknya, seluruh media massa dipenuhi berita kecelakaan pesawat itu. 

"Sebuah pesawat yang sedianya terbang ke Bandara Internasional Schipol, Belanda, jatuh di utara perairan Indonesia. Dua orang selamat yaitu, R (23), Z (23). Seorang lagi dalam keadaan kritis Y (19). Polisi tengah menyelidiki penyebab kecelakaan tersebut." 

*** 

Membaca cerpen Melayang ini membuat saya ingin tertawa, ternyata lucu ya membaca tulisan sendiri, tulisan sembilan tahun silam, saat menulis sekedar sebagai ruang curahan hati, luapan rasa. Semoga cerpen Melayang ini menginspirasi kamu ya Sob! Yuk tulis cerpen inspirasi. 

quote inspirasi

septi ayu azizah
Septi Ayu Azizah penyuka literasi, volunteer dan pendidikan. Penikmat jalan-jajan ini, lahir di Banjarnegara, ber-KTP Jakarta, tinggal di Depok. Menulis bagi Septi adalah mencurahkan asa agar bermanfaat tentunya. Aktivitas Septi sebagai guru, pegiat literasi sekolah, dan tentunya menjadi istri penuh waktu.

Related Posts

10 komentar

  1. Seru banget baca cerpen ini mbaa🤩. Ditunggu lanjutannya kalau ada, hehe. Seru kalau di lanjutin ceritanyaa😊

    BalasHapus
    Balasan
    1. Lanjutannya masih dalam angan-angan mba, hehe. Semoga bisa terus menuliskannya yah

      Hapus
  2. Ya Allah, tengangnya baca ini. Jujur, aku selalu takut terbang, tapi tetap tak bisa di hindari.

    BalasHapus
    Balasan
    1. ada sensasi tersendiri kalau terbang ya Bun, antara cemas-penasaran, tapi jadi serasa makin dekat dengan Robb

      Hapus
  3. Ko aku panik sendiri ya bacanya hehe.. bagus ka cerpennya uwuu😄
    Emang benar, kalo baca tulisan kita yang lalu itu bikin geli2 gmn gtu wkwk

    BalasHapus
    Balasan
    1. hehe, bikin geli sebel gimana gituu.. tengkyu kakak

      Hapus
  4. Keren Mba detail ceritanya, bisa membawa pembaca seolah berada dalam cerita

    BalasHapus
    Balasan
    1. Siap, trims mbak Santi, semoga tetap semangat berkarya :)

      Hapus
  5. Kirain bakal ada lumba2 baik hati yg akan menyelamatkan kak yeni terus membawanya ke amsterdam

    BalasHapus
    Balasan
    1. Besok dilanjutkan ceritanya begitu ya kak. Eh tapi, saya lebih suka digandeng sama Panda ke amsterdam. wkwkwk

      Hapus

Posting Komentar